#128 Hidup dan Mati di Kolam Taiye

November 7, 2014   

CAHAYA api yang kemerahan itu semburat sampai segala sesuatu di dasar kolam itu menjadi terang. Untuk sejenak dapat kulihat segalanya. Tanaman air, lumpur, dan batu-batu. Tentu juga segala ikan, kura-kura, dan juga peti itu. Melesak semakin miring karena pukulan itu, bahkan peti itu tampak menjadi rusak meski tutupnya bagaikan terkunci dengan begitu erat, seperti tidak bisa dibuka kembali.

Ketika kegelapan kembali, cahaya itu bagai masih menyilaukan, dan pekatnya kegelapan tidak memperlihatkan apa pun, kecuali gelombang pukulan mematikan yang menyibak air bagaikan tiada air sama sekali yang seharusnya menghambat daya dan kecepatannya. Air yang terdesak tenaga besar menggelombangkan kolam, yang semoga saja tidak disadari para pengawal di daratan.

Aku tidak melihat apa pun kecuali sosok hitam pekat yang begitu sulit disaksikan dalam kegelapan, menyerang dengan jurus-jurus mematikan yang setiap kali hanya bisa kuhindari ketika nyaris mengakhiri riwayatku. Setiap gerakan memberikan sumbangan gelombang, setiap gelombang mendesak ke permukaan, sehingga aku sungguh khawatir betapa keadaan akan menjadi genting.

Ke mana Yan Zi? Aku tidak melihatnya, hanya Pedang Mata Cahaya miliknya tampak melayang jatuh di air bersama sarungnya, ketika sekali lagi pukulan cahayanya menghantam peti sampai tutupnya terbuka!

Aku pun menjejak dan melesat. Saat cahaya belum usai meredup, perutnya telah tersayat Pedang Mata Cahaya. Tiada darah yang bisa terlihat di dalam air dalam kegelapan seperti itu. Segera kutarik dan kutindih tubuhnya dengan batu-batu berat agar tidak mengambang. Dengan usahanya membuka peti, kukira aku tidak bisa menganggapnya seorang pengawal istana. Namun dengan terdapatnya bentrok antara berbagai kelompok di dalam pasukan pengawal istana sendiri, sebetulnya anggapanku tidak didukung alasan yang meyakinkan.

Ke mana Yan Zi? Bagaimana mungkin Pedang Mata Cahaya ini bisa lepas bersama sarungnya? Meski telah kugunakan Ilmu Kelelawar Menyelam di Air, tidak kudapatkan juga gambaran sosoknya di dalam Kolam Taiye ini. Aku mendadak disergap perasaan bersalah karena telah membiarkannya ikut menyelam. Betapapun tingginya ilmu silat Yan Zi sebagai pendekar, bertarung di dalam air adalah persoalan lain. Apalagi jika dalam kenyataannya Yan Zi dibesarkan di Kampung Jembatan Gantung di perbatasan Daerah Perlindungan An Nam dan Negeri Atap Langit yang sepanjang mata memandang merupakan lautan kelabu gunung batu.

Gelar Yan Zi Si Walet menunjukkan betapa berkat ilmu meringankan tubuh dan kecepatannya yang nyaris sempurna, perempuan pendekar murid Angin Mendesau Berwajah Hijau yang kemudian ditempa di Kuil Perguruan Shaolin itu dapat melayang seperti terbang dengan ringan dari puncak ke puncak, dengan kelincahan burung walet. Namun dengan tiadanya sungai besar di gunung-gunung batu, sudah jelas betapa kemahirannya bertarung di dalam air hanya akan setingkat burung walet yang diceburkan ke air.

"Yan Zi! Di mana kamu?"

Aku memanggilnya dengan Ilmu Bisikan Sukma, yang karena tiada jawaban, tentu berarti dia sedang berada dalam kesulitan. Teringat bagaimana Angin Mendesau Berwajah Hijau menitipkan Yan Zi kepadaku, aku merasa bergidik. Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan yang jatuh melayang di dalam air bersama sarungnya, bukanlah pertanda yang menenangkan perasaan.

Tiada juga jawaban. Aku berenang ke arah peti. Tidak ada yang dapat kulihat dalam kegelapan. Maka kuraih Pedang Mata Cahaya itu dari punggungku, kubuka sarungnya, dan kusalurkan tenaga dalam ke bilah pedang itu, sehingga pedang itu menjadi bercahaya, meskipun cahayanya tidak akan membelah tubuh sama sekali seperti jika terpantul ketika digunakan dalam pertarungan.

Tutup peti yang tadi terbuka rupanya kini sudah kembali menutup!

Gelombang akibat pertarungan sangat mungkin menutup kembali tutup peti itu, dan kini akulah yang harus membukanya, karena aku juga memegang Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan. Dengan menyentuhkan pedang yang kubawa ini kepada pasangannya, maka Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri akan menjadi sama ringan dengan yang untuk tangan kanan, sehingga bisa langsung diambil jika memang kuputuskan untuk mengambilnya sekarang.

Tentu aku belum lupa kesepakatan dengan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang. Pedang Mata Cahaya akan diambil ketika pasukannya muncul mengepung Chang'an, sebagai siasat untuk mengalihkan perhatian dari penjagaan pedang itu. Direncanakan malam ini penyusupan dilakukan untuk mengetahui tempatnya, dan baru malam berikutnya bersama dengan berlangsungnya pengepungan pedang itu benar-benar diambil.

Dengan penerangan dari Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan, kubuka peti itu dengan tangan kiri. Kulihat ke dalam peti, Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu tidak ada! (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 10:12 PM
#128 Hidup dan Mati di Kolam Taiye 4.5 5 Unknown November 7, 2014 CAHAYA api yang kemerahan itu semburat sampai segala sesuatu di dasar kolam itu menjadi terang. Untuk sejenak dapat kulihat segalanya. Tanaman air, lumpur, dan batu-batu. Tentu juga segala ikan, kura-kura, dan juga peti itu. CAHAYA api yang kemerahan itu semburat sampai segala sesuatu di dasar kolam itu menjadi terang. Untuk sejenak dapat kulihat segalanya. Tanam...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak