TANGAN itu menarik Yan Zi masuk ke dalam air, hanya meninggalkan gelembung-gelembung udara, yang memberi kesan terdapatnya seseorang yang kehabisan napas. Peristiwa itu berlangsung cepat sekali. Aku segera menyelam dan memburunya dengan perasaan khawatir. Yan Zi adalah pendekar gunung yang belum pernah melihat laut. Di lautan kelabu gunung batu ia bisa melayang seperti burung walet, terbang dari puncak yang satu ke puncak yang lain untuk akhirnya hinggap pada dinding yang miring. Namun di dalam Kolam Taiye ini, dalam keadaan diseret, dengan sebuah tangan mengunci pada pergelangan kaki, Yan Zi sungguh berada dalam keadaan rawan.
Dalam kegelapan dapat kuikuti jejak diseretnya Yan Zi melalui gerak air yang tersibak. Air itu tersibak bukan sembarang tersibak, melainkan bergulung memutar bagai pusaran yang menghisap, terutama apabila aku mengejar di belakangnya. Untuk menghindari keadaan seperti itu aku harus melaju lebih cepat agar dapat berada di sampingnya. Aku tidak bisa melihat Yan Zi karena pusaran air berputar menyamarkan tubuhnya. Kuharap ia tetap sadar dan tidak pingsan, karena jika pingsan maka Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan bisa terlepas, dan alangkah akan semakin sulit keadaan jika pedang itu hilang, jatuh ke dasar kolam, lenyap ditelan lumpur.
Akan semakin parah jika pedang itu berhasil direbut oleh seseorang, mungkin saja oleh penyeretnya itu, dan dengan segala daya yang terbukti telah dimiliki pedang mestika tersebut, alangkah berbahayanya jika pedang digunakan demi tujuan yang hanya mewakili kepentingan dirinya sendiri.
Bisakah Yan Zi kuhubungi dengan Ilmu Bisikan Sukma?
"Yan Zi!" Kupanggil dia.
Namun tiada jawaban apa pun.
Kupercepat laju renangku seperti ikan lumba-lumba yang menyerbu ikan hiu. Aku telah berada di samping pusaran itu dan aku memasukinya sambil bersiap menggunakan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri. Sedikit pengalamanku bertarung di dalam air mengajarkan bahwa arus pusaran sebaiknya tidak dilawan melainkan diikuti sampai terbebaskan dari daya hisapnya pada titik akhir pusaran itu.
Aku memasukinya dan membiarkan diri terseret berputar-putar di dalam pusaran itu sampai tiba pada tujuanku, dan aku sudah siap menusukkan pedang ini kepada siapa pun yang kutemui, ketika ternyata dengan sangat mengejutkan hanya terdapat taring-taring berkilatan dari sebuah mulut raksasa yang menganga dengan begitu lebarnya, sehingga nyaris menelanku.
Kusabetkan pedang yang kupegang.
Bahkan di dalam air terdengar bunyi traaaaangngngng!!!! dan cahaya tak terkatakan terangnya semburat dalam semesta kolam. Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri yang kusabetkan telah ditangkis oleh Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan. Pedang itu sudah lepas dari tangan Yan Zi!
Sempat kulihat manusia bersisik yang bercawat itu melepaskan Yan Zi, yang di dalam air seperti dilontarkan begitu saja kepadaku. Yan Zi memang tak sadarkan diri, aku menyambar tubuhnya dan segera memberikan pernapasan melalui mulutnya. Yan Zi segera tersadar. Kukira air belum sempat mencapai paru-parunya.
Matanya terbuka, tetapi aku tidak melepaskan bibirnya dari bibirku. Kukira ia mengerti, tetapi jika tidak dan juga tidak mau mengerti pun aku tidak akan melepaskan bibirnya dari bibirku. Pernapasan ini lebih penting dari apa pun baginya sekarang.
Kusalurkan chi, dengan pernapasan kundalini, sehingga ketika kami ternyata tiba di tepi Pulau Penglai, sebetulnya keadaan tubuh Yan Zi sudah kembali seperti semula, dan aku bisa melepaskan bibirku dari bibirnya.
Namun ketika aku akan melepaskannya, kedua tangan Yan Zi menahan kepalaku, sehingga kami tetap bertahan seperti orang berciuman.
Aku berusaha melepaskan diri tetapi Yan Zi terus bertahan, seperti tidak peduli lagi dengan pedangnya yang selama ini sudah seperti bagian dari nyawanya sendiri -sebagaimana layaknya hubungan seorang pendekar dengan senjata andalannya.
Setiap kali aku hampir bisa melepaskan diri, Yan Zi menarik kepalaku lagi.
Aku memikirkan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan, yang tidak boleh hilang jika tidak ingin segalanya menjadi sia-sia. Bukankah segala ancaman marabahaya, segala pertarungan antara hidup dan mati, harus selalu kami atasi untuk menyatukan kembali Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan dan tangan kiri?
Mungkinkah kubalas saja ciumannya agar Yan Zi bisa melepaskan diriku, dan aku mengejar kembali manusia air bersisik yang telah merebut Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan tadi? (bersambung)
#133 Pedang Mestika dan Bibir Yan Zi
November 12, 2014 - Posted by Unknown in Bagian 26
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:26 PM
#133 Pedang Mestika dan Bibir Yan Zi
4.5
5
Unknown
November 12, 2014
Yan Zi adalah pendekar gunung yang belum pernah melihat laut. Di lautan kelabu gunung batu ia bisa melayang seperti burung walet, terbang dari puncak yang satu ke puncak yang lain untuk akhirnya hinggap pada dinding yang miring.
TANGAN itu menarik Yan Zi masuk ke dalam air, hanya meninggalkan gelembung-gelembung udara, yang memberi kesan terdapatnya seseorang yang ke...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak