Namun perhatianku sekarang bukanlah ke bibirnya melainkan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan yang jika jatuh ke tangan yang salah akan sangat berbahaya bagi dunia persilatan, karena bahkan pantulan cahayanya saja sudah lebih tajam dari hasil asahan pada logam.
Maka kubalas saja ciumannya tanpa perasaan.
Dalam Kitab Chungyung disebutkan:
betapa dalam ikan akan menyelam,
dan masih cukup jelas kelihatan
Jika disesuaikan dengan cara berpikir Kong Fuzi, itu berarti bahwa aku harus tahu apa yang kulakukan, dan betapapun aku harus mengetahui dan bersedia menanggung akibatnya. 1
Mata Yan Zi masih tetap terpejam ketika melepaskan diriku yang telah mencium bibirnya tanpa perasaan tetapi aku tidak perlu memikirkannya sekarang. Aku melesat kembali ke dalam air seperti ikan lumba-lumba yang melaju, memburu manusia bersisik yang telah merebut Pedang Mata Cahaya dari tangan Yan Zi.
Untuk apa pula Pedang Mata Cahaya baginya yang tidak pernah keluar dari bawah air, jika tidak untuk digunakan oleh seseorang di atas air yang akan menerimanya? Mungkinkah aku lebih baik membuntutinya lebih dulu sebelum merebutnya? Namun jejak manusia bersisik yang berkancut tadi sudah sulit kutemukan. Hanya sisa gelombang, yang tak bisa dibedakan.
Namun kukira manusia bersisik yang kemungkinan besar bernapas dengan insang itu tidak akan bisa keluar dari kolam ini. Ia tidak bisa bernapas di atas permukaan. Mungkin ada riwayat tertentu sehingga nasibnya menjadi seperti itu. Korban percobaan para ilmuwan Wangsa Tang, seperti sapi bertangan manusia sebagai kaki kelima waktu itu? Aku belum dapat mengetahuinya sekarang. Bagaimana cara menemukannya?
Akhirnya kumanfaatkan Ilmu Kelelawar Menyelam di Air yang semestinya hanya melepaskan gelombang suara tanpa bunyi, tetapi yang kini akan mendenging dalam taraf yang begitu tinggi agar telinganya pekak dan kesakitan, dan bilamana perlu membuatnya pingsan, melayang-layang dan mengambang, sehingga tak perlulah aku bertarung antara hidup dan mati untuk merebut Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan.
Gelombang suara itu pun segera mencari sasaran dan menemukannya! Dengan perantaraan air, kudengar jeritan merambat yang berasal dari rasa sakit teramat sangat. Dapat kubayangkan seseorang menutupi kedua telinganya dengan tangan, matanya terpejam, mulutnya menganga dengan tegang karena menahan sakit, dan tetap saja sia-sia karena baginya suara tanpa bunyi itu di dalam kepalanya telah menjadi denging yang melengking, menimbulkan rasa sakit dalam setiap serat pada otaknya...
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!"
Dengan permintaan maaf dalam hati tak pernah kulepaskan tekananku ini, dan melalui jejak lengkingan yang merambat di air aku melesat dengan kecepatan 1.000 lumba-lumba ke arahnya.
Tubuh bersisik itu telah melebur kembali dengan air kolam yang bergolak-golak dalam pusaran bergelombang, kembali hanya tersisa bingkai rahang raksasa bertaring tajam yang menganga kesakitan, dengan bunyi geram tak tertahankan yang disayat-sayat suara denging melengking. Di tengah bingkai rahang menganga itu Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan di dalam sarungnya tampak melayang sepintas dalam kekelaman, yang segera kusambar tanpa mengurangi kecepatan.
Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri yang tadi kubawa di tangan kanan di dalam sarungnya telah kupindahkan ke tangan kiri, tangan kananku kini telah memegang Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan di dalam sarungnya.
Dalam jarak tertentu aku berhenti dan membalikkan kedua badan, kusentakkan sarung kedua pedang itu sehingga pedangnya keluar mengambang. Kulepaskan kedua sarung pedang dan sepasang Pedang Mata Cahaya itu kusambar dan langsung saling kusentuh kan. Cahaya kilat menyilaukan segera melesat berkeredap menghentikan penderitaan manusia air yang hanya merupakan orang suruhan itu.
Sekali lagi cahaya menyilaukan semesta kolam sebelum akhirnya kekelaman menyerap kembali riak gelombang dalam kesunyian.
Aku berpikir untuk melacak jejak tujuan ke mana Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan itu tadinya akan diantar. Namun aku teringat kepada Yan Zi yang kutinggalkan di Pulau Penglai.
***
Dengan kedua Pedang Mata Cahaya saling bersilang dalam sarungnya masing-masing yang bertali itu di punggungku, aku meluncur kembali ke Pulau Penglai.
Di tempat tadi kutinggalkan Yan Zi, aku muncul kembali ke permukaan air, dan kulihat sepasang pedang panjang melengkung telah menyilangi leher Yan Zi.
Kudengar suara itu.
"Jika ingin Pendekar Walet ini tetap hidup, serahkan kedua Pedang Mata Cahaya itu kepadaku." (bersambung)
1 Melalui Book of Songs dalam Lin Yutang, The Wisdom of Confucius (1938), h. 132.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak