LANGIT yang semalam serbagelap telah menjadi ungu, sebentar lagi hari akan menjadi terang. Namun sekarang wajah pemegang sepasang pedang panjang melengkung itu belum terlalu jelas. Rambutnya yang lurus panjang dilambaikan angin dari belakang menutupi wajah.
"Pendekar Tanpa Nama," katanya, "namamu begitu harum tertiup dari selatan, tetapi dikau tidak pernah mampu menjaga wanita-wanitamu."
Pernyataan itu sungguh menusuk, tetapi aku tentu harus menahan diri.
"Tidak mampu menjaga Panglima Amrita, padahal dia adalah pengawal pribadinya; tidak mampu menjaga Elang Merah, padahal pendekar Tibet itu selalu berada di sampingnya; dan apakah kini akan dikau korbankan pula Yan Zi Si Walet ini, demi penguasaanmu atas kedua pedang itu?"
Aku tidak menjawab karena arahnya sudah jelas. Dia menginginkan kedua pedang ini, dan berusaha mendapatkannya tanpa pertarungan berat, melainkan sekadar dengan akal yang cerdik saja.
Memang sungguh pandai usahanya itu karena seperti telah diyakini betapa aku tak mungkin mengorbankan nyawa Yan Zi demi kepentingan apa pun juga, dan memang begitulah adanya - tetapi ia bermimpi jika merasa dirinya bisa mendapatkan sepasang Pedang Mata Cahaya dengan cara semudah membalik tangan.
Seorang guru Dao berkisah:
Seorang guru yang berjalan-jalan dengan muridnya menunjuk seekor rubah yang mengejar kelinci. "Menurut dongeng kuna, kelinci itu berhasil lolos dari kejaran rubah," kata gurunya.
"Tidak begitu," kata muridnya. "Rubah itu lebih cepat."
"Tetapi kelinci itu akan lolos," gurunya bertahan.
"Kenapa Guru begitu yakin?" tanya muridnya.
"Karena rubah itu berlari demi makan malamnya, sedangkan kelinci itu berlari demi hidupnya," jawab sang guru 1.
Hanya kepalaku yang tampak di atas air. Sengaja kutampakkan diriku sebagai seseorang yang ragu. Kucari mata Yan Zi dalam keremangan pagi.
Kami berbicara cepat dengan Ilmu Bisikan Sukma.
"Apa yang terjadi?"
"Dia menotokku ketika aku masih memejamkan mata menikmati ciumanmu tadi," katanya.
Aku menghela napas di dalam hati.
"Diakah Harimau Perang itu?"
"Aku tidak tahu, dia tidak mengatakan apa-apa."
"Apakah dia bukan yang kau ikuti dulu itu?"
Yan Zi telah mengikuti sosok dengan ciri yang sama, yang disebut-sebut sebagai Harimau Perang. Namun sosok seperti ini muncul juga di berbagai tempat lain tanpa pernah tersebut sebagai Harimau Perang. Semua orang tampaknya dengan mudah menyebut nama Harimau Perang tanpa keraguan. Seperti semua orang di dunia ini telah mengetahunya kecuali kami.
"Bagaimana aku tahu? Aku tidak bisa menoleh dan dia di belakangku terus dari tadi."
Di tepi kolam, pertarungan sudah selesai. Tampaknya tinggal para pengawal istana saja yang berada di sana.
"Orang-orang golongan hitam itu sudah kubantai semua. Istana ini harus bersih dari para pencuri, termasuk pencuri seperti kalian!"
Kulihat mayat-mayat bergelimpangan di kejauhan, bahkan ada yang masih mengerang-erang. Hmm. Aku belum lupa bahwa Harimau Perang disebut-sebut sebagai orang yang memasukkan golongan hitam untuk mengawal istana. Tidak tertutup kemungkinan istana pun bisa dikuasai jika mereka semua sudah berada di dalam. Seperti ikut mengawal, tetapi mencari celah dalam segala kesempatan.
Betapapun tidak mungkinlah segala pintu rahasia keamanan akan dibuka bagi orang-orang dari luar ini, meskipun datang atas perintah kepala seluruh mata-mata yang baru. Para pengawal rahasia istana mungkin mencurigainya ketika ia membawa golongan hitam, tetapi kecurigaan itu bisa dihilangkan melalui pembantaian orang-orang golongan hitam dengan tangannya sendiri.
Sungguh mahal harga yang harus dibayar golongan hitam atas persekongkolan semu ini. Sejak awal mereka telah menjadi korban kelicikan luar biasa Harimau Perang.
"Mereka adalah golongan hitam," katanya, seperti tahu apa yang kupikirkan, "bagaimanapun pada akhirnya mereka harus dibasmi."
Aku tahu orang seperti ini akan menggunakan cara apa pun untuk mencapai tujuannya. Orang sangat licik dan sangat berbahaya. Itulah yang dapat kupikirkan, sejauh apa yang pernah kudengar tentang Harimau Perang. Apakah dia ini yang bernama Harimau Perang?
"Tuankah perwira mata-mata yang dikenal sebagai Harimau Perang?"
Aku bertanya sambil menatap Yan Zi, dan bicara dengan Ilmu Bisikan Sukma.
"Di sebelah mana totokannya?"
"Tengkuk."
"Akan kubebaskan totokanmu dan bunuhlah penjahat itu dengan kedua pedangmu." (bersambung)
1 Dari Joe Hyams, Zen in The Martial Arts [1982 (1979)], h. 115.
#135 27: Dongeng Rubah Mengejar Kelinci
November 14, 2014 in Bagian 27
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak