Secepat kilat Yan Zi menggerakkan kedua Pedang Mata Cahaya, dan melayanglah kedua lengan yang masih memegang kedua pedang melengkung panjang itu ke udara.
Terdengarlah jerit kesakitan dan kekalahan memecah pagi itu, tetapi lantas lenyap mendadak ketika kedua Pedang Mata Cahaya itu menebas pula lehernya dari kiri dan kanan.
Tubuh tinggi besar itu ambruk dengan semburan cairan hitam dari lehernya. Aku berenang mendekat dan mendarat. Yan Zi langsung memelukku.
Apakah yang bisa kulakukan selain membalas pelukannya? Ia menangis di dadaku. Aku menahan diriku sebisanya karena aku tidak ingin memberikan kepadanya kesan yang salah. Apalagi kuyakini betapa ini semua tidak akan terjadi tanpa sepeninggal Elang Merah.
"Sudah kamu satukan kedua Pedang Mata Cahaya itu," kataku sambil mengelus punggungnya, "leluhurmu akan lebih tenang kini di langit."
Di balik punggungnya kulihat kepala yang berambut lurus panjang yang semula terapung-apung itu perlahan-lahan tenggelam.
Yan Zi mengangkat kepalanya dan menatap mataku.
"Pendekar Tanpa Nama...."
Aku tidak menjawab, tetapi membalas tatapannya.
"Cintakah dikau kepadaku?"
Dalam hati aku menghela napas, apakah dirinya, seperti telah kukenal, akan minta jawaban sekarang juga?
Kulihat matanya dalam keremangan dini hari. Mata kekanak-kanakan tanpa dosa. Tegakah aku mengatakan, betapa cinta yang kurasakan kepadanya adalah cinta seorang adik kepada kakaknya, dan bukan cinta kepada seorang kekasih?
Air mata Yan Zi berlinang. Melepaskan pelukan dan mendorongku. Ia berusaha tersenyum.
"Kamu tak perlu menjawabnya..."
Namun aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Laozi berkata:
karenanya biarlah hasrat disenyapkan
saat dirimu merenungkan kegaiban;
ketika hasrat merajalela
dikau hanya menyaksikan
tampak luar perwujudan 1
Langit semakin terang, kulihat para pengawal istana menghilang. Kudengar orang-orang berteriak di kejauhan menyuarakan kesiagaan.
"Semua pengawal siap di tempat! Semua pengawal siap di tempat!"
Aku dan Yan Zi berpandangan. Kami pun melesat meninggalkan Pulau Penglai. Berlari di atas air menuju Xuan Wu Men atau Gerbang Kura-kura Hitam, yang berada di utara Kolam Taiye dan terus berkelebat melawan tiupan angin pagi, yang tidak kunjung berhenti sejak malam hari, lebih jauh lagi menuju Chong Xuan Men atau Gerbang Hitam Ganda yang langsung berhadapan dengan padang terbuka.
Sembari melesat aku tetap berpikir, masih perlukah Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang mengerahkan pasukannya untuk mengepung Kotaraja Chang'an, jika dalam kenyataannya Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri kini sudah kami pegang, meski pencurinya bukanlah kami?
Mungkinkah mereka masih mengira bahwa kami, meskipun mungkin sudah mengetahuinya, belum mengambil pedang itu dari tempat persembunyiannya? Betapapun para penghubung dengan pihak Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang sudah tewas semua, baik Kaki Angin maupun Kipas Sakti, dan jika pun tentunya ada yang masih akan menjadi mata-mata mereka, tidakkah seluruh urusan pencurian pedang ini adalah pengalih perhatian besar yang telah mengenai sasarannya?
Langit menjadi semakin cerah. Angin tidak mengendurkan tiupannya yang masih tetap bersuit-suit seperti orang menjerit. Hari-hari yang semula selalu sama akan menjadi berbeda. Aku pernah menjadi bagian dari pasukan yang mengepung Thang-long. Apakah aku sekarang juga akan menjadi bagian dari pasukan pengepung, ataukah sebaliknya menjadi bagian dari penduduk kota yang terkepung?
Terdengar suara tanda bahaya di seluruh penjuru Istana Daming. Para penghubung antara gedung yang satu dengan gedung yang lain berlari-larian sesuai latihan yang pernah dijalani. Gerbang-gerbang ditutup dan para pengawalnya bersiaga di sekitarnya. Tidak terlihat kepanikan pada wajah-wajah mereka.
Kami berkelebat menyalip sekitar lima ratus pengawal istana yang berlarian ke arah Gerbang Hitam Ganda, dan segera melayang ke atas gerbang menyaksikan puluhan ribu balatentara pasukan berkuda Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang muncul dari balik kabut menggetarkan bumi. (bersambung)
1. Melalui John Blofeld, The Secret and Sublime: Taoist Mysteries and Magic (1973), h. 181.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak