TANGANKU bergerak secepat kilat menangkap kelima pisau terbang dan pisau terakhir kulayangkan kembali kepada pemburuku itu. Ia tiba di tempatku berdiri dengan pisau menancap pada jidatnya. Kudorong ia dari atap Gerbang Yanxing, dan melayang untuk jatuh berdebum ke bumi. Meskipun manusia biasa pasti mati ketika jatuh dari ketinggian seperti itu, seorang pemanah tetap membidik dan melepaskan anak panah ke arahnya agar lebih pasti. Panah berkelebat menancap pada punggung mayat yang tertelungkup itu, menembus tepat ke jantungnya. Kukira dialah korban pertama peperangan ini, kecuali jika kepala regu yang menutup mataku tadi mau dihitung sebagai korban peperangan pula. Namun siapakah yang akan peduli?
Suatu bayangan datang menerjang membawa angin maut. Kugeser-geser tubuhku setepat mungkin agar terhindar dari puluhan kali kebutan secepat kilat, yang seperti ingin mematahkan tulang-tulangku.
"Pengkhianat! Bukankah semestinya dikau bertempur di pihak kami?"
Aku tidak menjawab karena gerakannya lebih cepat dari kilat. Sedikit saja kelengahan, darahku bisa muncrat bersemburan seperti pancuran. Jika gerakannya nyaris tiada terlihat, betapa berbahayanya terpancing oleh percakapan.
Namun aku tetap berbicara dengan Yan Zi melalui Ilmu Bisikan Sukma.
"Mereka bisa membaca tujuan kita dan mengirim para pembunuh, hati-hatilah!"
"Oh, aku baru saja membunuh dua orang pelempar pisau terbang."
Aku sebetulnya sangat percaya dengan kemampuan Yan Zi, tetapi masih tetap saja bergidik mengingat pesan Angin Mendesau Berwajah Hijau yang menitipkannya kepadaku agar menjaganya dan pulang kembali dalam keadaan utuh. Dalam dunia persilatan, tempat hidup dan mati begitu jamak seperti siang dan malam, bagaimana caranya menjamin keselamatan seseorang yang terus-menerus terlibat dalam pertarungan maut?
"Cepatlah sedikit dan hati-hati, mereka seperti memiliki regu pembunuh untuk mengamankan bocornya sandi-sandi rahasia!"
"Pendekar Tanpa Nama tidak usah memikirkan Yan Zi, meskipun telah memegang sepasang Pedang Mata Cahaya di tangannya, ia tak akan pernah memandang rendah lawan."
Dengan Ilmu Bisikan Sukma segala percakapan hanya berlangsung di dalam pikiran. Setelah menghindari kebutan senjata yang karena kecepatannya tak pernah kulihat bentuknya, sampai sekitar 200 kebutan yang sangat mengancam, kukitari tubuhnya dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat kusaksikan seperti apakah kiranya lawanku ini.
Ternyata ia bersenjata hudtim yang kebutannya bisa memecahkan kepala orang. Pantaslah aku tidak dengan segera mengenalinya, karena memang seingatku seperti belum pernah berhadapan. Biasanya senjata ini digunakan para hwesio berkepala gundul dari kuil Shaolin, karena memang bagian dari peralatan upacara doa, tetapi dalam kecepatan lebih tinggi sangat jelas bagiku kini bahwa hudtim dengan bulu ayam tersebut digunakan oleh perempuan pendekar paro baya berambut panjang. Rupanya maut yang mengancam terasa sebagai angin karena kebutan hudtim.
Dengan segala hormat aku terpaksa membunuhnya dengan Totokan Pelepas Nyawa agar kematiannya tak terasa. Jika aku tidak membunuhnya, tubuhnya hanya akan terajam 200 anak panah yang sangat menyakitkan. Pada saat tubuhnya rubuh aku menyambutnya dengan kedua lengan, ketika tangan kiriku masih memegang empat pisau terbang.
Kurebahkan tubuhnya perlahan-lahan sebisa mungkin di atas gerbang. Kuselipkan hudtimnya pada kain yang terikat di pinggangnya, yang membuat perempuan pendekar yang rambutnya mulai keputih-putihan itu sesungguhnyalah tampak perkasa.
Tanpa kusadari air mataku menitik. Sekilas, tapi melintas dengan goresan mendalam, aku teringat ibuku.
Ah, ke manakah sebenarnya Sepasang Naga dari Celah Kledung itu pergi? Mengapa mereka harus pergi dan tak pernah kembali lagi? Jika mereka begitu sakti dan tak terkalahkan, dan aku percaya memang tak terkalahkan, mengapa harus tidak kembali dan menemuiku lagi?
Di tengah ketegangan menantikan pertempuran besar, hatiku terajam kerinduan mendalam. Aku tidak beranjak dari tempatku berdiri. Yavabhumipala yang sudah lama tidak kupikirkan mendadak terasa begitu dekat. Betapa aku telah kehilangan hamparan kehijauan sawahnya yang cemerlang dalam taburan cahaya matahari.
Bunyi tambur dan sasangkala menyadarkanku. Masih adakah petugas yang harus membunuhku? Yan Zi datang dari arah Gerbang Chunming yang berada di utara gerbang ini.
"Kita harus kembali ke Danau Lekuk Ular dan Taman Bunga Raya," kata Yan Zi, "mereka mungkin akan memasukkan pasukan pilihan melalui satu-satunya celah tak bertembok itu, lantas membuka semua gerbang dari dalam, maka pasukan sebanyak itu tidak akan tertahankan lagi. Chang'an bisa dikuasai dalam satu hari!" (bersambung)
#144 29: Ancaman dari Tenggara
November 23, 2014 - Posted by Unknown in Bagian 29
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 1:00 PM
#144 29: Ancaman dari Tenggara
4.5
5
Unknown
November 23, 2014
"Pendekar Tanpa Nama tidak usah memikirkan Yan Zi, meskipun telah memegang sepasang Pedang Mata Cahaya di tangannya, ia tak akan pernah memandang rendah lawan."
TANGANKU bergerak secepat kilat menangkap kelima pisau terbang dan pisau terakhir kulayangkan kembali kepada pemburuku itu. Ia tiba di tempa...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak