"Sekarang!"
Aku berteriak dan kami pun melesat ke Danau Lekuk Ular dan Taman Bunga Raya.
Kami melesat sepanjang tembok, tanpa disadari oleh deretan pasukan panah yang menantikan kedatangan musuh di sekitar Gerbang Yanxing, menuju selatan karena di sanalah titik tenggara yang merupakan titik terlemah pertahanan Chang'an itu terletak. Dari sepanjang tembok dapat kulihat betapa puluhan ribu anggota pasukan mengubah arah ke tenggara, sementara pasukan berjalan kakinya mulai berlari setelah terdengar sangkakala bernada tinggi.
Mereka mulai berlari dari jarak 2 li sambil membawa tangga ke arah bagian yang kosong, yakni di utara Gerbang Chunming dan di selatan Gerbang Yanxing. Tetapi para pemanah yang mempertahankan kota itu pun memecah diri untuk mengisi titik-titik yang kosong agar terjamin bahwa tidak ada pertahanan yang lowong.
Wu Zi menulis:
Sang Ningrat Wu bertanya,
"Apa yang membuat serdadu menang perang?"
Wu Qi menjawab,
"Adalah kepatuhannya, yang membuatnya menang."
Sang Ningrat bertanya lagi,
"Jadi tidak tergantung jumlahnya?"
Wu Qi menjawab,
"Jika peraturan tak jelas, hadiah dan hukuman tak dapat diandalkan." 1
Setibanya kami di sudut tenggara Chang'an tempat terdapatnya Danau Lekuk Ular dan Taman Bunga Raya, sisa empat pisau terbang di tanganku terlempar ke arah empat penunggang kuda terdepan yang melaju dengan kecepatan penuh. Empat pisau terbang menancap pada empat dahi, yang membuat orangnya langsung terpelanting sementara kudanya tetap menderap tanpa penunggang, meskipun yang satu ternyata kakinya menyangkut dan terseret dengan mengenaskan.
Punggung kuda yang kosong itu memberikan kepada kami suatu gagasan. Kutengok titik terlemah ini bukan tanpa penjaga, bahkan karena disadari sebagai titik terlemah tampaknya dimanfaatkan sebagai jebakan. Betapapun panglima yang wajib mempertahankan Chang'an, meskipun dalam keadaan tidak siap berperang, tampaknya memiliki lebih dari sekadar niat untuk bertahan.
Kutengok pohon-pohon xiong sudah penuh para pembidik gelap, dengan panah maupun sumpit beracun. Hanya perlu satu jarum beracun untuk setiap jiwa penyerang, dan jumlah jarum dalam satu kantong kulit itu, apalagi jika seluruhnya dijumlahkan, lebih dari cukup untuk menghabiskan seluruh pasukan berkuda yang bertugas membuka lubang pertahanan. Masalahnya, seperti kata Yan Zi, bukankah mereka adalah pasukan pilihan? Bagi para prajurit dengan tingkat ilmu silat setara pendekar, semburan ratusan jarum beracun pun bisa dirontokkan dalam sekali kibasan. Tiada salahnya pasukan yang melaju ini diberi sedikit hambatan.
Dengan Ilmu Naga Berlari di Atas Langit aku segera melampaui jarak 2 li dan naik ke atas salah satu punggung kuda yang kosong, dan baru duduk saja sudah kurasakan sambaran pedang ke arah tengkuk maupun tusukan tombak ke arah punggungku dari belakang. Kuhindari sambaran pedang dari sebelah kiri dengan merendahkan tubuhku ke kanan, dan dengan itu pula tombak bermata pisau tajam tersebut luput mengenai sasaran. Namun tak hanya menghindar, kurebut tombak itu dengan tangan kanan memegang gagang mata tombaknya di atas punggungku yang merendah, dan menyentakkannya sehingga pemegang tombak terlempar dari kudanya ke depan. Aku langsung membelokkan kuda ke kanan agar pasukan kuda yang menggebu itu melewatiku, dan melindas kawan mereka sendiri yang tadi terlempar, terhempas, dan belum sempat bangun kembali.
Pasukan berkuda terus melaju sambil memekik-mekik seolah pintu pertahanan sudah terbuka dan dapat memasuki kota tanpa perlawanan. Aku memacu kuda di samping kanan dan menjatuhkan para penyerbu di sisi paling kanan satu per satu dengan tombak yang kubalik, kupegang gagang mata tombaknya di tangan kiri agar mereka tak tewas sampai bisa menyusul baris terdepan.
"Berhentilah di sini! Kalian semua masuk jebakan!"
Aku berteriak bukan hanya untuk menghentikan serangan, tetapi memang untuk menghindarkan jatuhnya terlalu banyak korban.
Namun yang kuajak bicara, tanpa sedikit pun melambatkan laju kudanya, secepat kilat menusukkan tombaknya ke pinggang kiriku! (bersambung)
1. Dari "Wu Zi on the Art of War" dalam A.L. Sadler, The Chinese Martial Code (2009), h. 175.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak