JURUS Tanpa Bentuk ada kalanya memunculkan dirinya sendiri tanpa dikehendaki jika diriku berada dalam keadaan genting. Begitulah aku sudah berpindah ke atas kuda yang penunggangnya semula menusukkan tombaknya ke pinggang kiriku, ketika penunggangnya sudah terjatuh dan tewas terlindas ratusan kuda yang terus-menerus berderap melaju dan menggebu.
Di atas kuda itu aku melaju lebih cepat ke depan seolah-olah memimpin penyerbuan. Di depan kulihat Yan Zi sudah menanti dengan kedua Pedang Mata Cahaya di tangannya meski belum mengarahkan pantulannya kepada siapa pun. Aku tetap memacu kudaku dan melewatinya dan saat itulah Yan Zi mulai mengarahkan pantulan cahaya dari timur dengan sisi lebar kedua pedangnya ke arah para penyerbu yang melaju.
Aku membalikkan kudaku dan kulihat pantulan kilat berkelebat menyambar-nyambar pasukan berkuda yang berderap maju dengan menggebu-gebu itu. Sekali sambar cahaya yang berkilatan itu menyapu tak kurang dari 20 sampai 50 sasaran yang melaju.
Dengan segera kuda bergelimpangan diiringi ringkik kesakitan, orang-orang tertindih, terinjak kuda maupun tersambar cahaya. Darah muncrat dan menyembur dari tubuh kuda maupun manusia yang terpapas cahaya pantulan setajam logam nan terasah itu. Menyambar kuda maupun penunggangnya akibatnya sama saja, barisan terdepan menjadi kacau-balau karenanya dan akibatnya masih juga sama ketika kuda dan penunggangnya tersambar kedua-duanya dengan seketika. Darah terus-menerus bermuncratan ke angkasa tanpa henti dan turun kembali membasahi bumi tempat kuda dan manusia bergelimpangan, berteriak-teriak, menjerit-jerit, mengaduh-aduh, merintih-rintih meregang nyawa, dan seterusnya.
Yan Zi tak kenal ampun, pantulan cahaya dari pedangnya dia arahkan ke mana-mana, sehingga tak hanya yang di depan saja ambruk bergelimpangan menghambat serbuan, tetapi juga di belakangnya, ketika segala kuda yang terhambat meringkik dengan kedua kaki terangkat ke depan segera tersambar pantulan cahaya yang memang diarahkan. Apabila pasukan ini kemudian memecah diri ke arah kiri dan kanan, sepertinya untuk tetap mengarahkan diri mereka kembali ke Danau Lekuk Ular dan Taman Bunga Raya, maka Yan Zi pun memburunya dengan pantulan kedua pedang pada kedua tangannya yang direntangkan.
Pantulan cahaya berkelebatan membantai kedua barisan percabangan yang muncul dari belakang akibat keterhambatan di depan. Bencana yang sama, kemalangan yang sama, segera meruyak dalam jerit dan raung kekalahan yang sama tetapi menimpa manusia-manusia yang berbeda, yang barangkali saja seharusnya duduk tenang-tenang menghirup teh pada pagi dingin yang sama seperti hari ini juga di desanya masing-masing. Ya, barangkali, karena pasukan ini ternyata begitu terlatih mengatasi segala perkembangan.
Para penunggang kuda yang kudanya tewas melompat ke punggung kuda yang penunggangnya tewas, meninggalkan mereka yang mati maupun setengah mati meskipun merintih-rintih demi sasaran yang jadi tujuan, yakni menjebol pertahanan Kotaraja Chang'an yang paling lemah di sudut tenggara, karena merupakan satu-satunya tempat tanpa tembok pertahanan seperti di bagian lain, menyusul terdapatnya Danau Lekuk Luar dan Taman Bunga Raya. Mereka melanjutkan derapnya, laju melaju menyerbu ke depan, ke arah Yan Zi yang kedua tangannya masih terentang, dengan pantulan cahaya masing-masing menghajar pasukan yang memisahkan diri di kiri dan kanan.
Pasukan yang berada di depannya makin mendekat. Para serdadu menggebah kudanya sambil melaju dengan senjata terhunus. Tombak, pedang, kelewang, golok, ruyung, dan gada teracung dengan hanya satu sasaran. Apakah mereka akan melindas Yan Zi? Melihat air bah pasukan berkuda ini semakin mendekat, Yan Zi menarik rentangan kedua tangan yang masing-masing memegang pedang itu, dan saling menyentuhkan kedua ujungnya sambil merendahkan sebelah lutut seperti orang memanah.
Dengan segera cahaya kilat berkeredap dan setidaknya 40 orang dalam delapan baris terdepan langsung hangus dan bergelimpangan bagaikan arang, sementara yang berada di belakangnya tidak menjadi lebih baik nasibnya karena meskipun tidak menjadi arang, tubuh mereka menyala-nyala dan terbakar. Manusia dan kuda yang menyala bagai makhluk api masih terus melaju beberapa saat, sebelum akhirnya tersungkur tepat di depan Yan Zi.
Semua kejadian itu berlangsung begitu cepat pada pagi yang begitu dingin dan berangin. Aku masih tertegun-tegun di atas kuda menyaksikan segala peristiwa yang berkelebatan. Betapa murahnya nyawa manusia dalam peperangan! (bersambung)
#146 Nyawa Manusia dalam Peperangan ...
November 25, 2014 in Bagian 29
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak