#149 30: Pasukan Berkuda Masuk Jebakan

November 28, 2014   

BERTARUNG setengah hati, menahan diri untuk tidak membunuh, tetapi menghadapi lawan-lawan tangguh, jauh lebih sulit daripada bertarung tanpa persyaratan apa pun. Ilmu silat yang sudah mengendap menggerakkan tubuh tanpa harus memikirkannya, karena ilmu silat mana pun memiliki jawaban bagi ancaman apa pun. Namun ketika seorang petarung tidak bermaksud menumpahkan darah, sementara lawannya sungguh-sungguh haus darah dengan jurus-jurus andalan mematikan, jurus-jurus jawabannya nyaris selalu sama mematikannya. Menghadapi lawan seperti ini, tanpa bermaksud membunuh meskipun tetap melumpuhkannya, tidaklah lebih mudah. Bukan sekadar ilmunya harus lebih tinggi, melainkan haruslah berkali-kali lipat lebih tinggi, karena jika tidak maka yang bisa dilakukan hanyalah membunuhnya!

Aku masih memegang tombak pada pangkal mata tombaknya, sehingga aku bagai bersenjatakan toya saja, tetapi hanya salah satu ujungnya yang dapat kumanfaatkan. Dengan senjata tersebut dapat kutangkis lima senjata yang terayun dengan tujuan membelah tubuhku, tetapi aku tidak dapat menangkisnya satu per satu, meski dengan kecepatan tercepat karena memang tiada waktu lagi. Kelima senjata itu akhirnya bukan kutangkis, melainkan kuterima dengan tombak itu sekaligus, dan mengikuti daya dorongnya aku pun menjatuhkan diri ke bumi bersama kelima senjata yang masih menempel pada tombaknya.

"Heh-heh-heh-heh! Bersiaplah untuk mati!"

Salah seorang bermaksud menarik tombaknya untuk menusukku sekali lagi, tetapi tombak itu tetap menempel dengan lengketnya, tidak bisa ditarik kembali. Ia terkejut dan berusaha menariknya lagi, tetap saja tidak berhasil, seperti juga yang telah terjadi dengan empat penombak lain. Tiada jalan bagi mereka untuk melepaskan tombaknya itu, tetapi tangan mereka pun ternyata tidak bisa lepas! Ketika tangan yang lain berusaha membantunya, tangan itu pun lengket juga!

Itulah ilmu yang sudah lama sekali kupelajari, ketika masih hidup dalam asuhan Sepasang Naga dari Celah Kledung, sampai aku sudah lupa apa namanya. Syukurlah ilmu penyerap ini masih bekerja pada saat dibutuhkan. Kelima perwira yang semula tampak perkasa itu sekarang kebingungan. Dengan ilmu belut putih kulepaskan tubuhku dari tindihan tombakku sendiri.

"Sadarilah betapa aku bisa membunuhmu sekarang," kataku, "tetapi tidak akan kulakukan."

Di tengah pertempuran, aku teringat sebuah puisi:

angin bertiup perlahan dan sunyi

air Sungai Yi sangat dingin

sekali prajurit berani berangkat

mereka tak pulang kembali 1

Sebetulnya itulah pesan rahasia Pangeran Tan kepada Ching K'o pada hari-hari terakhir Negara-Negara Berperang, ketika penyatuan seluruh Negeri Atap Langit dilakukan oleh Maharaja Pertama.

Apa pun maksud pesan rahasia itu, semoga mereka tidak mengalami nasib yang sama.

Mereka sekarang bagaikan patung yang menghalangi jalan, barisan menjadi terbelah, tetapi seorang perwira segera mengayun-ayunkan bendera dan memberi tanda pemecahan barisan agar tidak menjadi semakin lamban. Barisan semakin tersebar ke kiri dan ke kanan, melaju kembali ke arah tenggara dengan kecepatan yang seolah-olah berusaha menggantikan segala ketertundaan, melaju bagaikan berusaha terbang.

Aku segera mendahului mereka dengan ilmu Naga Berlari di Atas Langit, dan tiba pada tujuan penyerbuan tepat ketika seribu orang terdepan itu melewati garis pertahanan. Seribu orang berkuda maju ke dalam celah yang segera ditutup kembali. Mereka dijebak mengikuti jalur yang mengarahkan mereka ke Taman Bunga Raya, tempat tak kurang dari 200 pemanah jitu menanti mangsanya di balik rimbun dedaunan pohon xiong. Setiap pemanah membidik dan melepaskan anak panahnya masing-masing lima kali berturut-turut, dan setiap kali melesatlah 200 anak panah ke arah 200 penunggang kuda yang langsung tewas dengan anak panah menancap pada punggung maupun dadanya.

Jerit terakhir sebelum kematian dengan segera terdengar di mana-mana, sementara kudanya masih terus berlari masuk kota dengan sesosok mayat yang tertancap panah di atas punggungnya. Mayat-mayat tertelungkup atau tertelentang di atas kuda dalam keadaan tertancap anak panah menjadi pemandangan biasa.

Pada saat itulah masuk lagi seribu pasukan berkuda, tepat ketika celah dibuka dan adegan itu pun terus-menerus berulang. Seperti telah diperhitungkan, setiap kali 200 orang tertancap panah pada saat itu pula 200 kuda membawanya pergi. Bahkan sebelum persediaan anak panahnya habis, sudah terdapat petugas-petugas yang naik ke atas pohon xiong itu membawakan persediaan anak panah baru.

Setidaknya 8.000 orang akhirnya mengalir masuk tanpa menyadari maut yang menanti, karena dengan lenyapnya pasukan tanpa halangan seolah-olah terbukti titik lemah pertahanan Chang'an memang rawan terobosan.

Aku masih mencari di manakah Yanzi ketika terdengar seruan di luar celah penjebakan.

"Tahan!" (bersambung)


1. Melalui Moriya, op.cit., h. 81.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:11 PM
#149 30: Pasukan Berkuda Masuk Jebakan 4.5 5 Unknown November 28, 2014 Di tengah pertempuran, aku teringat sebuah puisi: angin bertiup perlahan dan sunyi air Sungai Yi sangat dingin sekali prajurit berani berangkat mereka tak pulang kembali. BERTARUNG setengah hati, menahan diri untuk tidak membunuh, tetapi menghadapi lawan-lawan tangguh, jauh lebih sulit daripada bertarung tanpa...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak