BARISAN berkuda yang belum terjebak untuk memasuki celah itu masih sekilar 2.000 orang. Semua menunggang kuda terbaik dan terlatih yang mudah dikendalikan, bahkan tahu pula berperang, sehingga ketika penunggangnya bertarung melawan prajurit berkuda di medan pertempuran, kuda semacam ini akan menggigit atau menendang lawan, baik itu kuda maupun penunggangnya.
Namun kali ini perintahnya adalah berhenti berlari, maka mereka pun berhenti berlari. Hanya dengusnya susul-menyusul disela ringkik di sana-sini sambil kadang-kadang mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi karena pemberhentian mendadak itu.
“Bodoh sekali! Hari masih pagi, sudah habis pasukan kita di sini! Siapa orang bodoh yang menyuruh kalian asal melaju?!”
Hari memang masih pagi, cahaya matahari masih kuning, meski kepanikan telah membangunkan seluruh Chang'an. Aku melayang ke atas tembok sisi selatan. Di bagian dalam dari tembok itu, semua kuda yang telah kehilangan penunggangnya digiring ke sebuah lapangan terbuka, dan para pengurus kuda segera melakukan segala sesuatu yang diperlukan. Kuda perang memang dilatih untuk mengenal siapa lawan siapa kawan, sehingga jika terampas seperti ini, tidak akan bisa dimanfaatkan. Namun para pengurus kuda sudah mengetahui segala cara untuk memindahkan keberpihakan kuda itu.
Aku masih belum melihat Yan Zi, tetapi mayat-mayat itu mulai diangkut setelah dilemparkan ke dalam gerobak. Di manakah akan mengubur atau membakarnya?
Kulihat ke arah selatan, gelombang pasukan berjalan kaki yang kini berlari sudah berjarak 1 li. Sebentar lagi mereka akan mencapai tembok. Dalam hujan panah bertaburan mereka terus berlari dan berlari sambil membawa tangga. Ada yang tertancap panah langsung telentang, ada yang tertancap panah langsung telungkup, keduanya dengan susah payah dihindarkan dari keterinjakan. Tetapi yang telentang maupun telungkup tetap saja terlindas dan tergilas kaki-kaki bersepatu, yang tanpa putus-putusnya melaju tanpa tahu betapa terdapat tubuh manusia yang mati maupun setengah hidup di bawahnya. Apabila tangga yang mereka bawa terjatuh karena pembawanya terpanah, maka selalu ada orang lain akan menggantikannya
Namun panah-panah itu menjadi tak berguna manakala barisan pembawa tangga telah menempel di tembok, sedangkan barisan di belakangnya adalah barisan jalan kaki yang melindungi dirinya dengan perisai. Digabungkan menjadi satu, perisai-perisai itu seperti menjadi lempengan raksasa yang berjalan ke arah tembok tanpa bisa dibendung lagi. Sementara di baliknya bersembunyi orang-orang bersenjata yang dengan cepat akan naik tangga, bahkan mungkin saja dengan ilmu cicak akan merayap ke atas, juga dengan cepat, sampai ke atas tembok. Beribu-ribu panah dilepaskan, semua menancap pada perisai dan terlalu sedikit yang berhasil menembus celah dan menembus tubuh para pembawa perisai.
Tidak semua orang berbaju zirah pada pasukan pemberontak, dan mereka yang tidak mengenakannya dan tertancap anak panah para pembidik jitu jatuh bergelimpangan di bawah tudung perisai raksasa yang terus bergerak maju. Pantulan cahaya matahari pada lempengan perisai yang terdiri atas pecahan beribu-ribu perisai itu berkilat-kilat dan berkeredap menyilaukan menembus angin dingin.
“Serbu! Serbu! Serbu!”
Balatentara Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang menyemut di luar tembok. Tak bisa dibayangkan jika sedemikian banyak orang masuk dan mengamuk di dalam Kotaraja Chang'an. Penjarahan, pembakaran, pembunuhan, dan pemerkosaan barulah sedikit kemungkinan yang sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan gambaran mengerikan. Kini barisan semut itu sudah mencapai tembok dan semuanya berusaha naik tangga.
Para Pengawal Burung Emas mendorong kembali tangga itu dengan lima sampai sepuluh orang di atasnya ikut terdorong jatuh ke belakang.
Demikianlah di sepanjang tembok bagian selatan kulihat puluhan dari ratusan tangga yang dipasang terdorong jatuh ke belakang bersama dengan belasan orang yang sedang menaikinya, tetapi lebih banyak lagi tangga yang tetap menempel di tembok, karena setiap kali seseorang akan mendorong tangga itu segera saja ia tersentak tewas, dengan pisau terbang menancap pada jantung atau dahinya.
Maka tak jarang orang di atas tembok benteng itu menunggu saja dengan golok terhunus, dan membabat putus leher siapa pun yang muncul untuk pertama kalinya dari bawah. Namun di sini pun para pengawal kota yang menunggu dapat kehilangan kepalanya dengan seketika, karena dari belakangnya telah muncul para penyerbu yang merayapi tembok dengan cepat menggunakan ilmu cicak, yang akan membabat leher mereka dengan kelewang tertajam tanpa perlu mengenal belas. (bersambung)
#150 Balatentara Menyemut di Luar Tembok
November 29, 2014 in Bagian 30
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak