"TIDAK penting diriku siapa," kataku, ''tetapi aku akan membunuhmu dengan kejam jika semua ini tidak kamu jelaskan.''
Aku dengan segera memberi sejumlah totokan tambahan yang menyakitkan tetapi tidak akan membunuhnya, cukup untuk menggertaknya, dan dengan kedua pedangnya sendiri kuperlihatkan sikap seperti sungguh-sungguh siap memotong kedua lengan maupun kakinya.
"Jangan! Jangan! Jangan!"
Ia berteriak ketakutan. Terlalu penakut untuk ukuran anggota Pasukan Hutan Bersayap yang berilmu tinggi dan menguasai ilmu halimunan. Namun aku juga mengerti betapa orang-orang kebiri di dalam istana, apakah ia pelayan atau pengawal, sudah terlalu lama bergelimang kemewahan dan tidak mampu lagi melepaskan kemewahan itu.
Bagi orang-orang kebiri, pemotongan kemaluan mereka seharusnya menjadi penderitaan terakhir, seperti menjadi peristiwa yang sama sekali tidak ingin mereka ingat lagi. Setelah peristiwa yang merupakan pengorbanan maupun bayaran atas kejayaan yang ingin diraihnya, hanya penikmatan dan pengerukan kekayaanlah yang mereka pikir layak mereka alami sepanjang sisa hidupnya, yang dalam kenyataannya tidak pernah cukup.
Maka berpisah dari kehidupan seperti itu sungguh merupakan ancaman mengerikan. Kematian pun mereka kehendaki merupakan peristiwa menyenangkan.
Kuangkat pedangku seperti akan membelah kayu.
"Jangaaaaaaaaaaaan! Tolong! Jangan! Apa yang dikau inginkan?"
Aku terdiam sejenak, karena sebetulnya diriku tidak punya kepentingan apa pun. Aku hanya mau mencari Yan Zi dan ingin segera pergi, meski serbuan dan pengepungan ini jelas harus membuatku peduli kepada bencana yang dimungkinkan. Sayup-sayup kudengar suara pertempuran di balik tembok perbentengan. Korban dari kedua belah pihak tentu terus berjatuhan...
"Katakan, ke mana semua peti ini mau dibawa?"
"Oh, ke gudang penyimpanan di Istana Terlarang, Tuan Pendekar."
Istana tempat tetirah di Taman Terlarang disebut Istana Terlarang.
"Siapa yang memerintahkannya?"
"Kepala badan rahasia yang baru itu Tuan, Harimau Perang."
Harimau Perang? Kapan perintah itu diberikan?
"Kapan perintah itu diberikan?"
"Sudah lama, Tuan, sudah lama sekali direncanakan, Tuan Pendekar, saya tidak tahu apa-apa lagi Tuan Pendekar, tolong jangan bunuh saya!"
Adapun yang kupikirkan, apakah Harimau Perang seorang abdi setia yang sedang menyelamatkan harta negara ke gudang penyimpanan maharaja, ataukah seorang abdi yang menurut saja ketika maharaja memerintahkan agar peti-peti uang emas dipindahkan ke gedung istana pribadinya, ataukah seorang pencuri licik yang meminjam wibawa maharaja untuk menyembunyikan hasil curian di tempat yang terjamin keamanannya seperti di tempat tinggal maharaja sendiri!
Ketiganya tidak bisa kubuktikan sekarang, meskipun ada satu pertanyaan yang masih melingkar-lingkar di kepalaku.
"Katakan kepadaku, apakah Harimau Perang..."
Pada saat itulah sesosok bayangan berkelebat secepat pikiran, dan pada leher orang kebiri ini terlihatlah suatu garis merah melingkar setipis benang. Secepat pikiran pula ia berkelebat menghilang, secepat pikiran aku berkelebat mengejarnya meniti cahaya kekuningan yang menembus kerimbunan hutan buatan di Taman Terlarang.
Pagi agak lebih hangat meski angin tetap saja dingin dan sinarnya berkilau-kilau begitu terang, membuat mataku terpaksa memejam ketika titian cahaya ini menembus rimbun pepohonan, dan mendadak terlihat awan-gemawan. Namun dalam keterpejaman, Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang bekerja dengan sendirinya memperlihatkan garis ketajaman setipis benang, menyambar leher dari dua arah yang berlawanan. Tubuhku berkelit dalam kecepatan pikiran, menghindari sambaran maut dua pedang panjang melengkung yang nyaris tidak menyisakan ruang, selain ancaman ketajaman baja tanpa tandingan.
Dalam kesilauan luar biasa yang tampaknya memang dimanfaatkan, sepintas kilas berkibar indah rambut lurus panjang pada punggung tegap meyakinkan, membuat cahaya berkeredap-keredap mengalihkan perhatian, tetapi yang tidak akan berlaku untukku yang kali ini memegang dua pedang rampasan. Kedua pedang yang kupegang memang bukan baja pilihan terbaik seperti kedua pedang panjang melengkung yang dipegang lawan, tetapi kumainkan dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang belum pernah terkalahkan.
Bahkan cahaya bagaikan terpotong-potong oleh kelebat sabetan pedang. Dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang merupakan ilmu pedang berpasangan, lawanku bagaikan menghadapi dua orang dengan empat pedang, yang dengan kecepatan pikiran akhirnya membuat kedua lurus panjang melengkung itu terpental ke udara.
Dalam kilau cahaya berkeredapan kusaksikan bayangan hitam sebuah kepala mendongak untuk memandang pedang di atasnya. Inilah kesempatan terbaik untuk membabat agar juga terdapat garis merah setipis benang melingkari lehernya... (bersambung)
#155 Garis Merah Setipis Benang
December 4, 2014 - Posted by Unknown in Bagian 31
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:08 PM
#155 Garis Merah Setipis Benang
4.5
5
Unknown
December 4, 2014
Bagi orang-orang kebiri, pemotongan kemaluan mereka seharusnya menjadi penderitaan terakhir, seperti menjadi peristiwa yang sama sekali tidak ingin mereka ingat lagi. Setelah peristiwa yang merupakan pengorbanan maupun bayaran atas kejayaan yang ingin diraihnya, hanya penikmatan dan pengerukan kekayaanlah yang mereka pikir layak mereka alami sepanjang sisa hidupnya, yang dalam kenyataannya tidak pernah cukup.
"TIDAK penting diriku siapa," kataku, ''tetapi aku akan membunuhmu dengan kejam jika semua ini tidak kamu jelaskan.'...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak