PENGINAPAN Teratai Emas yang sangat termashur sebagai tempat hiburan kelas atas di seantero Chang'an kini sudah berubah bentuk. Tidak ada satu pun penerangan yang menyala, dan karena jendela memang tidak biasa dibuka dalam dingin angin, maka saat-saat pertama memasukinya terasa sangat gelap. Sambil memejamkan mata agar segera terbiasa, kudengar langkah-langkah mengendap yang tidak terlalu menyembunyikan diri. Setelah kubuka mataku terlihat tirai-tirai ditarik, hiasan lampu dicopot, lukisan terindah digulung, juga bertumpuk-tumpuk busana sutra diangkut seperti mengangkut barang-barang murahan, yakni dimasukkan ke dalam karung.
Tempat yang biasanya meriah dan ceria dengan bunyi kecapi dan nyanyi-nyanyi ini menjadi tempat yang kacau-balau dan centang-perenang. Namun tampaknya para penghuni yang biasa terdapat di sini telah dipindahkan. Guci-guci minuman yang sudah kosong tertuang tampak bergelimpangan, satu dua orang duduk bersandar pada tiang-tiang besar, mabuk dan terus-menerus mengigau bagaikan telah minum arak terlalu banyak, langsung dari mulut guci yang telah diangkatnya. Pada lantai, sisa minuman mengalir dari mulut guci yang masih menggelinding pelahan...
Aku menjejakkan kaki dan melayang ke atas, langsung melompati pagar tempat orang-orang biasa menonton pertunjukan sandiwara, karena di lantai itu pula terdapat bilikku dan Yan Zi selama tinggal di Chang'an.
Pintunya terbuka dan terjadi pertarungan di dalam bilik itu.
"Penjarah bodoh! Mau kalian jual berapa pedang ini?"
Bantal dan ranjang tampak berantakan, dan tiga orang sedang terpental untuk pingsan karena pukulan tangan kosong.
Ia segera keluar membawa Pedang Cakar Elang. Ia tidak tampak seperti penjarah, busananya ringkas dan cukup kumal, sebagaimana selalu terlihat pada seorang pendekar kelana. Namun wajahnya bersih dan ia juga masih sangat muda, kukira sekitar 22 tahun umurnya. Ia mengenakan busana yang menunjukkan dirinya berasal dari Tibet.
Begitu melihatku ia terkesiap.
"Pendekar Tanpa Nama!"
Aku tidak membenarkan maupun menghindar dari pernyataan itu.
"Siapakah dikau dan mengapa dikau membawa pedang yang bukan milikmu itu?"
Ia tampak kebingungan, terutama karena kekacauan di sekitar yang memang sangat tidak biasa. Dari sini, suara pertempuran yang terdengar di balik tembok bukanlah perkecualian.
Ia pun menjura sambil tetap memegang pedang itu.
"Ampunilah saya Pendekar Tanpa Nama. Nama saya Elang Muda. Perguruan Cakar Elang yang mengutus saya untuk mengambil pedang ini, yang semula dipegang Pendekar Elang Merah."
Mendengar nama Elang Merah, mendadak aku merasa berada di tempat lain, jauh dari hiruk-pikuk dan pekik-sorak peperangan. Nama itu, wajah itu, mata itu, pipinya yang merah dadu. Aku tidak bisa lebih lama lagi mengingkari kata hatiku akan perempuan pendekar Tubo itu, yang telah tewas dalam sengketa antar jaringan mata-mata, yang sampai sekarang keruwetannya belum teruraikan.
"Apa yang terjadi?"
Dengan ringkas Elang Muda mengisahkan sambungan cerita Elang Merah yang terputus dulu, bahwa sepeninggal Elang Merah yang telah membantai dan mempermalukan Mahaguru Cakar Elang Perkasa, berikut keenam muridnya yang telah mengawasi dan berjaga agar mahaguru itu bisa memperkosa perempuan muda yang kelak menjadi Elang Merah itu, sisa muridnya membangun kembali Perguruan Cakar Elang.
Melalui jaringan mata-mata Tibet telah mereka ketahui sepak-terjang Elang Merah, dan bagaimana ia telah terjebak oleh perkumpulan rahasia yang merasuki jaringan mata-mata Tibet tersebut, sehingga menemui kematiannya. Pedang Cakar Elang selalu dibawa oleh murid terbaik dalam perjalanannya di dunia persilatan sebagai penanda keterlibatan Perguruan Cakar Elang dalam membasmi kejahatan.
"Jadi dikaulah murid terbaik Perguruan Cakar Elang itu sekarang?"
Elang Muda kini menyungkum lantai dan mengetukkan dahinya sampai tiga kali.
"Mohon ampun Pendekar Tanpa Nama, saudara-saudara saya di Perguruan Cakar Elang telah menyatakan bahwa saya dipersilakan menyampaikan kepada Pendekar Tanpa Nama untuk menguji kemampuan saya apabila menghendakinya."
Seperti Elang Merah, ia bicara dalam bahasa Negeri Atap Langit yang lancar, jauh lebih lancar dariku, tetapi dengan pengucapan seperti orang-orang Tibet, yang semuanya hanya mengingatkanku kembali kepada Elang Merah. Aku sepenuhnya percaya kepadanya, dan telah kulihat bagaimana Elang Muda bergerak dengan tangan kosong untuk melumpuhkan ketiga lawan tanpa harus membunuhnya. Jika seorang pendekar dapat menilai pendekar lain hanya dengan melihat langkahnya, maka yang telah kusaksikan sudah lebih dari cukup.
"Bangunlah Elang Muda," kataku, sementara gemuruh pertempuran di luar semakin meningkat, ''bawalah pedang itu dengan merdeka." (bersambung)
#158 Elang Muda dari Tibet
December 7, 2014 - Posted by Unknown in Bagian 31
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 9:49 PM
#158 Elang Muda dari Tibet
4.5
5
Unknown
December 7, 2014
PENGINAPAN Teratai Emas yang sangat termashur sebagai tempat hiburan kelas atas di seantero Chang'an kini sudah berubah bentuk. - "Bangunlah Elang Muda," kataku, sementara gemuruh pertempuran di luar semakin meningkat, ''bawalah pedang itu dengan merdeka."
PENGINAPAN Teratai Emas yang sangat termashur sebagai tempat hiburan kelas atas di seantero Chang'an kini sudah berubah bentuk. Tidak ad...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak