#163 Cinta Bukan untuk Pengembara

December 12, 2014   

AKU hanya bisa tertunduk. Meskipun suaranya semakin lemah, Yan Zi masih terus berkata-kata.

"Aku tahu Elang Merah pun sangat mencintaimu, tetapi dia hanya mau mengabdi kepadamu, sedangkan aku sangat ingin memi­likimu... Terutama dengan kepergian Elang Merah, aku sangat berharap bisa mengisi hatimu...

"Tetapi dengan berhasilnya kita mendapatkan pedang itu, aku sangat takut kita akan segera berpisah...

"Aku merasa galau, kutahu bagaimana dirimu telah menciumku tanpa perasaan, hanya untuk menyenangkan diriku dan itu sangat menyakitkan aku...

"Aku berada di Penginapan Teratai Emas tadi, dan hatiku lebih hancur lagi melihat dirimu begitu peduli dengan Pedang Cakar Elang, sepertinya kamu telah menganggapnya sebagai pengganti Elang Merah untuk selalu bersama dengan dirimu. Betapa hancur hatiku!"

Yan Zi. Siapa yang mengira? Di balik keceriaan dan kelincahan seekor burung walet...

"Bawalah kedua pedang itu, aku tidak cukup memiliki jiwa besar untuk memilikinya..."

Suaranya sudah lemah sekali. Aku tidak bisa mendengar lagi kata-katanya.

"Yan Zi! Yan Zi!"

Ia sudah pergi.

"Yan Zi!"

Kusentak-sentakkan tubuh Yan Zi dengan tiada habisnya. Kupeluk sambil meneriakkan namanya, tanpa peduli apakah di tengah pertempuran seperti ini seseorang akan membacokku dari belakang.

"Yan Ziiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!"

Aku menelungkup dan masih terus memeluknya. Kurasakan suatu ancaman serangan dari bekakang, tetapi aku sungguh tidak peduli, bahkan mungkin berharap agar bisa mati saja di sini.

Mataku basah. Pertempuran hilang. Langit hilang. Bumi hilang. Gagasan hilang. Segalanya mengambang. Betapa mungkin Yan Zi tewas di tanganku sendiri!

Aku berjuang keras menghindari diriku yang hancur lebur bagaikan tiada bersisa lagi. Melayang. Kosong. Hampa. Hatiku bagaikan disayat sembilu yang menggurat tajam dengan sangat memedihkan, begitu memedihkan, bagai tiada lagi yang begitu memedihkan, dengan begitu mematikan tetapi tidak mematikan perasaan, membuat perasaanku tenggelam ke dalam sumur kedukaan tanpa dasar yang semakin ke bawah semakin menyayat, semakin gelap tanpa kejelasan apakah suatu ketika akan berhenti dan mengambang ataukah jatuh seterusnya tanpa akan pernah berhenti...

Aku bukan tidak tahu tentang perasaan Yan Zi kepadaku, tetapi siapa yang mengira betapa perasaan itu tidak akan teralihkan, jika menyaksikan kedekatannya dengan Elang Merah yang bagai tidak tergantikan. Aku merasa sangat bersalah dengan kenyataan betapa Yan Zi mengetahui perasaanku terhadap Elang Merah, dan mengetahui pula perasaan Elang Merah kepadaku, meskipun antara Elang Merah dan diriku tidak pernah terdapat ungkapan tentang perasaan-perasaan itu.

Aku tidak pernah tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan semacam itu, karena seorang pengembara yang tidak pernah tinggal menetap di suatu tempat dan selalu mengalami perjumpaan dengan siapa pun hanya untuk meninggalkannya lagi, bagai sudah melepaskan hak untuk memiliki perasaan semacam itu.

Elang Merah yang dirinya sendiri adalah seorang pengembara juga mengerti akan keberadaan semacam itu, termasuk keberadaanku maupun keberadaannya sendiri yang tidak memungkinkan hidupnya perasaan-perasaan seperti itu. Ia telah memilih untuk mengabdikan hidupnya untuk mengikuti dan melindungiku, dan Yan Zi mungkinkah tidak tahu betapa kehendak memiliki sudah dilepaskan dalam keadaan semacam itu?

Di atas tubuh Yan Zi yang masih hangat, kurasakan betapa wajahku menjadi basah. Rasanya aku tidak ingin beranjak lagi selamanya dan biarlah siapa pun membacokku jika memang menginginkan begitu. Tidak ada lagi yang kuinginkan lagi dari dunia ini sekarang selain tanpa keinginan itu sendiri. Aku lupa akan Amrita. Aku lupa akan Javadvipa. Aku lupa akan segala sesuatu yang mengingatkan dan mengikatkan aku kepada dunia ini.

Namun, mengapa belum ada seorang pun yang membacok dan membunuhku ketika peluangnya sangat terbuka seperti itu?

Lantas, sayup-sayup mulai kudengar lagi dentang perbenturan senjata, suara sabetan pedang membelah udara, dan jeritan mereka yang terluka. Suara-suara itu terdengar dekat sekali. Panah-panah yang datang berlesatan dan tertangkis pedang. Ribuan anak panah yang turun bagai hujan dari langit hanya bisa ditangkis apabila pedang atau tombak yang menangkisnya berputar bagai baling-baling.

Kudengar suara ribuan anak panah bagaikan masuk ke penggilingan. Siapakah yang telah melindungiku? (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 11:47 AM
#163 Cinta Bukan untuk Pengembara 4.5 5 Unknown December 12, 2014 "Aku tahu Elang Merah pun sangat mencintaimu, tetapi dia hanya mau mengabdi kepadamu, sedangkan aku sangat ingin memi­likimu... Terutama dengan kepergian Elang Merah, aku sangat berharap bisa mengisi hatimu... AKU hanya bisa tertunduk. Meskipun suaranya semakin lemah, Yan Zi masih terus berkata-kata. "Aku tahu Elang Merah pun sangat mencinta...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak