"Pendekar Tanpa Nama! Maafkan! Saya tidak melihat tombak itu!"
Itu suara Elang Muda. Murid terbaik Perguruan Cakar Elang yang kini memegang Pedang Cakar Elang dan dengan pedang itu telah dijaganya diriku dengan semangat yang sama seperti yang dilakukan Elang Merah. Namun jika Elang Merah berbuat begitu karena menurutnya dia berhutang kehidupan kepadaku, maka apa yang harus membuat Elang Muda bersikap seperti Elang Merah kepadaku? Hanya kesetiaan kepada perguruan yang akan membuatnya begitu. Elang Muda mengikuti Elang Merah sebagai murid utama Perguruan Cakar Elang untuk selalu mengikuti jejak dan melindungiku, dalam arti bersedia mati untukku.
Namun aku merasa Elang Muda tidak harus berbuat begitu, apalagi untuk sebuah perjumpaan yang masih terlalu baru, meski ketika Elang Merah kuhindarkan dari pembantaian pedang Yan Zi di balik air terjun waktu itu dan Elang Merah mengungkapkan kesungguhannya, perjumpaan kami jauh lebih singkat dari perjumpaanku dengan Elang Muda. Betapapun kemurahan hati yang membahayakan jiwanya sendiri seperti itu tidak bisa kuterima. Elang Muda memang gagah perkasa, tetapi telah kuketahui banyak kemalangan menimpa para pendekar muda dalam dunia persilatan disebabkan ketiadaan pengetahuan perihal tipu daya, baik sebagai bagian dari siasat pertarungan maupun jahatnya kelicikan tiada tara.
Maka aku pun memindahkan kedua sarung pedang di punggung Yan Zi ke punggungku, sehingga terdapat empat sarung pedang saling melintang di punggungku. Sepasang untuk kedua pedang panjang melengkung, dan sepasang lagi untuk kedua Pedang
Mata Cahaya.
"Elang Muda, menepilah sebentar," kataku.
Elang Muda pun jungkir balik dengan ringan ke belakang.
Lantas kupungut kedua Pedang Mata Cahaya, kusalurkan tenaga dalam agar pantulannya nanti tidak menjadi sembarang cahaya, dan segera berdiri sambil memainkan pantulan kedua pedang dengan mengangkat kedua tanganku yang memegang pedang itu ke udara.
Bukan hanya para pengepung Elang Muda, yang semula bermaksud merajamku, langsung bergelimpangan tersambar cahaya maut dari pantulan pedang itu, melainkan juga semua lapisan dari lingkaran penyerbu di belakangnya.
"Tolong bawalah Pendekar Walet," kataku kepada Elang Muda, yang segera menyarungkan pedangnya dan membopong Yan Zi.
Aku berdiri pada tembok benteng, kusentuhkan kedua Pedang Mata Cahaya dan berkeredaplah kilat membuka jalan pada lautan para penyerbu yang langsung menjadi lajurku dan Elang Muda membawa Yan Zi pergi. Dari atas tembok kami melayang turun dengan ringan dan begitu hinggap di tanah langsung berkelebat tak tertahan apa pun lagi.
***
Hari telah senja. Dalam keluasan padang, permukaan bumi seperti permadani jingga pada bola dunia. Namun pesona senja kali ini tidak bisa berbicara apa pun kepadaku. Tidak kepada mataku, apalagi kepada hatiku. Senja bagiku kini adalah senja tanpa makna. Hanya kejinggaan yang menjelaskan dirinya sendiri tanpa kebermaknaan apa pun di baliknya. Itulah kejinggaan yang berasal dari bola matahari separo yang sedang turun ke balik cakrawala dan membuat kubur Yan Zi pun kejingga-jinggaan. Di padang luas seperti ini, kubur Yan Zi bagaikan satu-satunya bangunan kemanusiaan. Hanya gundukan, tempat segala riwayat manusia di dalamnya terkuburkan di situ. Tidak sebagaimana biasanya kuburan seorang pendekar, tiada pedang atau senjata apa pun tertancap di atasnya.
Kuambil kedua Pedang Mata Cahaya bersama sarungnya yang tersoren di punggungku dan kuserahkan kepada Elang Merah.
"Temuilah Angin Mendesau Berwajah Hijau di Kampung Jembatan Gantung di lautan kelabu gunung batu, sampaikan sepasang Pedang Mata Cahaya ini kepadanya dan ceritakan saja semua yang telah kamu saksikan maupun telah kuceritakan kepadamu. Pendekar Walet adalah orang terdekat Elang Merah dan bukan tak sering keduanya bertarung sebagai pasangan. Kamu layak wajib untuk menyerahkan pedang ini."
Usia Elang Muda baru 22 tahun. Perjalanan menyusuri kembali jejak Elang Merah akan memberinya pengalaman yang sangat dibutuhkan oleh seorang pendekar.
Kami tidak saling melambai, tapi kusaksikan sosok kehitaman yang menyoren sepasang pedang di punggung dan sebilah pedang di pinggangnya dalam keremangan senja berjalan ke arah cakrawala. Semakin lama semakin jauh sampai menjadi titik kecil dan menghilang.
Bulatan matahari merah membara sudah lama tenggelam ke balik cakrawala. Menyisakan langit yang merah, hanya merah, semburat memenuhi semesta. (bersambung)
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak