#167 Hukuman Setimpal bagi Pemerkosa

December 16, 2014   

AKU telah berusaha memancing kemunculannya dengan segala cara, antara lain dengan selalu menyebut-nyebut kedua pedang panjang melengkung itu kepada penjahat kambuhan mana pun yang kulumpuhkan, tetapi kuloloskan dari kematian. Aku tidak akan membunuh siapa pun yang tidak melakukan pembunuhan. Kepada mereka kuacungkan kedua pedang itu, setelah mencabutnya dari kedua sarung di punggung, dengan suatu cara yang kuharap akan mengesankan, yakni memutar keduanya pada masing-masing tangan lebih dulu, sebelum kedua ujungnya menempel pada tenggorokan seseorang.

"Perhatikanlah kedua pedang panjang melengkung ini," kataku selalu, "dengan mudah akan memisahkan kepalamu dari leher ini, kecuali jika kamu berjanji tidak akan berperilaku seperti orang gagah lagi, yang dengan gagah-gagahan mau menggagahi semua orang. Jika kamu masih melakukan itu, sudah pasti kedua pedang panjang melengkung ini akan terbang sendiri untuk mencari dan memenggal lehermu! Apa katamu?"

Maka setelah kulonggarkan tekanan kedua pedang itu dari tenggorokannya, segeralah orang-orang seperti itu akan menyungkum tanah dan mengetuk-ketukkan dahinya ke tanah sampai tiga kali.

"Ampunilah saya Tuan Pendekar, mohon jangan cabut nyawa saya! Ampunilah! Tidak akan melakukannya lagi! Ampunilah!"

Baik dalam keadaan gelap maupun terang aku berusaha tidak memperlihatkan wajahku, melainkan sosok yang sengaja kukesankan agar begitu mirip dengan orang yang kucari, yakni dia yang selalu menyoren sepasang pedang panjang melengkung di punggungnya, bahkan kuuraikan saja kini rambutku yang sama lurus dengan rambutnya, yang selalu melambai dalam setiap pergerakan termasuk dalam pertarungan. Bila kemudian orang bicara mengenai sosok yang kuperankan ini dalam perbincangan dari kedai ke kedai, yang masih juga bertahan dalam keadaan darurat perang, kuharap akan sampai juga ke telinganya betapa seolah-olah dirinyalah yang malang melintang.

Jika dia memang Harimau Perang, sebagai kepala jaringan mata-mata pemerintahan Wangsa Tang, sangatlah mudah cerita itu sampai ke telinganya, dan kuharap ada sesuatu yang akan dilakukannya untuk mencariku. Betapapun adalah pedangnya yang dibicarakan itu dan adalah citra dirinya yang sedang beredar itu. Seorang pendekar sejati seharusnya terhina oleh keadaan ini, meski dia bisa saja berpikir lain.

Zhuangzi berkata:

pikiran manusia sempurna seperti cermin

tak menangkap apa pun tak mengharap apa pun

mencerminkan tapi tak memegang

maka manusia sempurna dapat bertindak tanpa berusaha 1


Suatu hari aku membekuk seorang pemerkosa. Sayangnya aku hanya menghukum mati mereka yang membunuh, sedangkan menyiksa bukanlah perilaku seorang pendekar. Maka setelah penjahat kambuhan itu bersumpah tidak akan pernah kambuh kembali, sambil mengetuk-ketukkan dahinya ke tanah berkali-kali, aku melayang ke atas wuwungan. Namun, begitu hinggap, pemerkosa yang baru saja kutinggalkan itu terdengar menjerit dan melolong-lolong kesakitan. Dalam keremangan senja, masih dapat kulihat darahnya membuncah pada bagian tubuh yang digunakan untuk memperkosa. Betapa ia tidak akan melolong-lolong seperti itu jika tidak mengalami kebiri paksa?

Sesosok bayangan ramping melayang naik ke atas wuwungan di atap rumah yang berseberangan dengan tempatku berada. Piringan merah membara matahari senja yang turun perlahan-lahan di belakangnya membuatku tak bisa melihat wajahnya. Namun kulihat bulu-bulu anak panah yang tersoren di punggungnya maupun busur yang melintang di tempat yang sama.

Terdengar suaranya yang begitu merdu.

"Hihihihihi! Kukira Pendekar Tanpa Nama seharusnya setuju, itulah hukuman yang setimpal bagi pemerkosa! Kalau mau menjadi hakim jadilah hakim yang adil, Tuan Pendekar! Sampai jumpa!"

Aku tidak merasa wajib untuk mengejarnya. Jika ia merasa telah bertindak lebih adil daripadaku, biarlah ia merasa begitu!

Di kota paling beradab di dunia yang sedang kehilangan keberadabannya ini, kita tak tahu lagi makna yang pasti dari benar dan salah, tetapi aku tidak mau ikut campur. Betapapun aku hanyalah seorang pengembara asing di kota ini, yang terjebak suatu persoalan nan tak kunjung tuntas, yang tak bisa kutinggalkan begitu saja hanya karena bosan dan ingin mengganti pemandangan.

Aku sudah bermaksud meninggalkan tempat itu ketika tiba-tiba kudengar lima desingan melesat dan lima anak panah menancap pada titik tempat terdapatnya jantung, paru-paru kanan, hati, leher, maupun tempat anggota badan yang telah digunakan untuk memperkosa. Namun karena anggota badan itu sudah mengalami pengebirian paksa, anak panah itu pun menancap tepat pada lubang yang lantas tercipta karena lepasnya anggota badan tersebut. Dapat kubayangkan betapa mahir sang pemanah dengan ketepatan bidikan dalam keremangan seperti itu.

Lolongan pemerkosa itu langsung terhenti. Penderitaannya sudah berakhir. Terdengar lagi suara merdu yang sudah menjauh itu.

"Aku bukanlah orang yang kejam, wahai Pendekar Tanpa Nama, tapi seperti juga dirimu, aku sedang mencari keadilan!" (bersambung)


1. Melalui Joe Hyams, Zen in the Martial Arts [1982 (1979)], h. 101.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:00 PM
#167 Hukuman Setimpal bagi Pemerkosa 4.5 5 Unknown December 16, 2014 Pikiran manusia sempurna seperti cermin. Tak menangkap apa pun, tak mengharap apa pun. Mencerminkan tapi tak memegang, maka manusia sempurna dapat bertindak tanpa berusaha - Zen in the Martial Arts AKU telah berusaha memancing kemunculannya dengan segala cara, antara lain dengan selalu menyebut-nyebut kedua pedang panjang melengkung itu...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak