#169 34: Delapan Naga Meminta Pedang

December 18, 2014   

MEMANDANG kelam di balik garis paling belakang pengepungan, yang kini bisa dilakukan karena kelompok demi kelompok dari pasukan pemberontak itu memisahkan diri, dan kemungkinan besar pulang ke kampung halaman, aku merasa sangat was-was. Mungkin saja memang karena kekelaman bisa memberi perasaan rawan, sebagaimana pembayangan mana pun memungkinkannya ketika menatap kekelaman, keremangan, kegelapan, dan segala sesuatu yang dinaungi bayang-bayang kehitaman...

Mungkin, karena yang kupikirkan bukanlah kerawanan perasaan, melainkan suatu kemungkinan ancaman, nun jauh di balik kegelapan itu suatu ancaman maut yang mengerikan!

Aku masih berdiri di atas tembok sisi barat, menghadap ke arah barat, menghayati angin yang bertiup kencang membawa segala cerita yang tidak dapat diuraikan. Aku menghela napas panjang sembari mengunyah bakpau yang kuambil dari balik bajuku. Di antara deru angin kurasakan pergerakan halus di belakangku, yang sudah pasti bukan para penjahat kambuhan tanpa pengetahuan ilmu silat. Bahkan sejauh kuketahui ilmu silat yang dikuasai para Pengawal Burung Emas maupun Pasukan Hutan Bersayap, ilmu silat mereka yang bergerak sesenyap bayang-bayang ini jauh lebih tinggi. Jadi mereka bukan pengawal kota, yang akan memperingatkan dan menghukum diriku karena telah melanggar jam malam.

Tanpa menoleh pun kuketahui mereka berjumlah delapan orang dan tidak seorang pun bersenjata pedang. Hmm. Apakah mereka bermaksud mengeroyokku?

Aku masih mengunyah bakpau yang cukup besar dan berisi kacang hijau itu.

"Izinkan aku menghabiskan bakpau ini sebelum bertarung," kataku, "Kukira delapan pendekar berilmu tinggi tidak akan berkeberatan dengan masalah sepele seperti ini."

Terdengar suara tawa kecil yang rendah dan dingin.

"Makan bakpau bukanlah masalah sepele, setinggi apa pun ilmu seorang pendekar, ia tidak akan bisa bersilat dengan sempurna dalam keadaan lapar."

Tentu saja ia benar, tetapi ia masih melanjutkan, "Namun barangkali kita sama sekali tidak perlu bertarung."

Aku tertegun.

"Jadi mengapakah kiranya diriku yang bodoh mendapat keberuntungan seperti itu?"

Mereka tidak langsung menjawab, dalam gelap tampak mereka saling berpandangan, seperti menentukan siapa yang sebaiknya memberi jawaban.

Memang suara berbedalah kini yang menjawab pertanyaanku, suara seorang perempuan.

"Kita tidak usah bertarung jika Pendekar Tanpa Nama mengizinkan kami untuk membawa sepasang pedang panjang di punggungnya."

Ah! Akhirnya! Setelah sekian lama kukira pemilik pedang panjang melengkung ini memilih untuk diam dan menghilang selamanya. Namun kujawab tanpa memperlihatkan perasaanku.

"Oh, pedang...," jawabku sambil masih makan bakpau, ''aku pasti bersedia menyerahkannya asal pemilik pedang ini mengambilnya sendiri.''

Tiada terdengar jawaban apa pun. Kudengar mereka mempersiapkan senjata-senjatanya, mengelus-elus maupun menimang-nimangnya, seolah-olah senjata itu hewan piaraan, bahkan sahabat karib, yang kali ini sangat mereka butuhkan tenaganya.

Akhirnya terdengar lagi suara yang semula.

"Kami tidak ingin memenangkan pertarungan karena lawan kami lemas dan kelaparan. Habiskanlah bakpaumu, setelah itu kita bertarung antara hidup dan mati!"

Kutelan bagian terakhir dari bakpau itu.

"Kenapa harus antara hidup dan mati..." Aku berkata sambil mencabut sepasang pedang panjang melengkung itu dari punggungku dan berbalik. "... kalau akulah yang akan hidup dan kalianlah yang akan mati?"

Mereka tidak menjawab, tetapi jelas darahnya naik ke ubun-ubun, dan kuharapkan mereka cukup terpancing.

Serentak delapan orang yang semuanya berbaju hitam pekat sehingga sulit dibedakan dengan malam ini menyerang dengan jurus berpadanan yang mengunci.

"Pendekar sombong! Kupikir semakin tinggi ilmu seseorang semakin orang itu akan berendah hati! Kami Delapan Naga tidak bisa menerima penghinaan ini!"

Mereka terpancing tetapi kini aku tidak bisa lagi bermain-main. Senjata mereka pun bermacam-macam dan tidak semuanya pernah aku ketahui. Mereka menggunakan shengbiao atau anak panah bertali, liuchingchui atau bandul besi bertali, sepasang quan atau cincin terbang, sepasang bishou atau belati yang beronce, gou atau pengait, shaoziqun atau sepasang pentungan yang tidak kembar, ji atau tombak berkait, dan yueyachan atau tombak bulan sabit.

Setiap senjata mengancam dengan jurus-jurus yang tidak pernah kukenal, sehingga aku harus menggunakan Jurus Ba­yangan Cermin untuk menyerapnya agar dapat kukembalikan lagi dalam bentuk yang tidak mereka kenal. (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:46 PM
#169 34: Delapan Naga Meminta Pedang 4.5 5 Unknown December 18, 2014 Mereka menggunakan shengbiao atau anak panah bertali, liuchingchui atau bandul besi bertali, sepasang quan atau cincin terbang, sepasang bishou atau belati yang beronce, gou atau pengait, shaoziqun atau sepasang pentungan yang tidak kembar, ji atau tombak berkait, dan yueyachan atau tombak bulan sabit. MEMANDANG kelam di balik garis paling belakang pengepungan, yang kini bisa dilakukan karena kelompok demi kelompok dari pasukan pemberontak ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak