#171 Panah Menancap di Dahi

December 20, 2014   

AKU sudah sangat terbiasa jika siapa pun dengan cara apa pun mempersoalkan betapa diriku tidak memiliki nama, karena Sepasang Naga dari Celah Kledung yang menyelamatkan dan merawatku telah meyakinkanku bahwa sesungguhnya, semestinya, aku memiliki nama. Ketika mereka menyelamatkan diriku, dari tangan pengasuh yang sudah tewas di dalam gerobak yang kemudian meluncur ke jurang, aku bukanlah bayi yang baru saja dilahirkan, jadi pasti sudah diberi nama. Justru karena itulah Sepasang Naga dari Celah Kledung tidak ingin dan tidak merasa berhak untuk mengganti atau menumpuknya dengan nama lain. Orang tua asuhku itu hanya menyebutku, "Anakku". Selain itu mereka juga meyakinkanku, betapa diriku tidak kurang suatu apa jika tidak menyandang suatu nama.

"Nama hanyalah nama. Dirimu adalah perbuatanmu," kata ibuku.

Dalam keadaan biasa aku tidak punya masalah, jika siapa pun dalam keadaan apa pun mempersoalkan, bahkan merendahkan diriku hanya karena tidak bernama itu. Namun, kali ini, ucapan seperti itu kudengar ketika aku berada dalam titik terendah kerawanan. Nalarku mampu menerima keadaan, yang betapapun sangat kusesali, tetap menjelaskan ketidakmungkinanku menghindari peristiwa itu. Dalam pertarungan yang berlangsung begitu cepat, amat sangat cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat, siapa pun yang memulainya hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri jika terbunuh. Betapapun hatiku berkata lain: bagaimana mungkin dalam hidup yang cuma sekali ini seorang Yan Zi terbunuh oleh tanganku sendiri?

Maka, mendengar kata-kata salah seorang dari Delapan Naga itu serasa hancur lebur perasaanku, sehingga kubiarkan saja serangan dua pentungan dan dua cincin tajam yang melebihi kecepatan pikiran itu menghajar tubuhku.

Cras-cras! Bug-bug!

Benakku masih terang, tetapi hatiku sungguh galau. Seolah-olah memang sudah sepantasnyalah aku mati sebagai pembunuh Yan Zi. Dalam suasana hati seperti ini Jurus Tanpa Bentuk tak bisa bekerja dengan sendirinya seperti biasa.

Tubuhku melayang jatuh dengan lebam maupun luka goresan yang berbahaya, karena shaoziqun dan quan bukanlah sembarang senjata, digerakkan dengan tenaga dalam, jurusnya pun sangat mengunci pula.

"Pendekar Tanpa Nama!"

Kudengar suara merdu yang panik.

Aku melayang jatuh, tetapi aku bisa melamun.

Dalam Kitab Zhuangzi 1 disebutkan:

dikau mungkin pernah mendengar nada-nada Manusia,

tetapi belum pernah mendengar nada-nada Bumi;

dikau mungkin pernah mendengar nada-nada Bumi,

tetapi belum pernah mendengar nada-nada Langit. 2


Aku jatuh ke sisi luar tembok, jika dibandingkan dengan kecepatan pikiran, maka kejatuhanku seperti kejatuhan kapas yang melayang-layang di udara. Kira-kira tiga perempat perjalanan sebelum jatuh berdebum di bumi, dan mungkin dihabisi para pengepung yang berjaga di luar tembok benteng, meluncurlah panah bertali yang langsung menjirat dan melibatku. Kejatuhanku langsung terhenti dengan tersentak, dan segera saja ditarik ke atas, karena para penjaga dari pihak pengepung tampak berlari mendatangi dengan gerakan siap membacok.

Ketika para penjaga dari pihak pengepung tiba, justru jatuh berdebum dua mayat yang semula adalah kedua lawanku, dengan anak panah menancap di dahi mereka masing-masing. Belum lewat keterkejutan mereka, berdebum lagi dua mayat yang semula adalah lawan pendekar panah itu. Kali ini dengan anak panah menancap pada masing-masing jantung mereka. Sambil terbentur-bentur pada tembok benteng ketika ditarik ke atas, kulihat usaha sejumlah penjaga untuk memanahku, tetapi saat mereka baru mementang busur, segera pula menancap anak panah pada salah satu dari mata mereka.

Tubuhku terasa sakit dan tiada berdaya tergantung-gantung dan terbentur-bentur ketika ditarik ke atas. Masih dapat kubayangkan bagaimana pendekar panah bersuara merdu itu telah memanah kedua lawanku lebih dulu, sebelum memanah kedua lawannya sendiri, tetapi tak dapat kubayangkan percepatan pergerakannya, karena memasang panah pada busur, membidik, dan melepaskannya itu jumlah gerakannya jauh lebih banyak daripada sabetan pedang.

Tiba di atas tembok kukira aku sudah tidak sadarkan diri. Tidaklah terlalu mengherankan jika lukaku lebih dari parah. Kelak akan diceritakan kepadaku bahwa ketika sampai di atas tembok itu diriku sudah tidak bernapas. Demikianlah dikisahkan kemudian bahwa perempuan pendekar panah bersuara merdu itu berusaha memberikan pernapasan buatan, dengan cara menempelkan bibirnya pada bibirku --sama seperti yang pernah kulakukan kepada Yan Zi. (bersambung)


  1. Zhuangzi dapat berarti pribadi Zhuangzi (369-287 SM) maupun Kitab Zhuangzi yang ditulis para penerus dan penganut ajaran Dao yang juga menambahinya. Tengok Peter H. Nancarrow, Chinese Philosophy (2009), h. 30-5.
  2. Melalui percakapan Nan-kwo sze-khi dan Yen Khang sze-yu dalam James Legge, The Texts of Taoism [1962 (1891)], h. 176-7.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 1:51 PM
#171 Panah Menancap di Dahi 4.5 5 Unknown December 20, 2014 dikau mungkin pernah mendengar nada-nada Manusia, tetapi belum pernah mendengar nada-nada Bumi; dikau mungkin pernah mendengar nada-nada Bumi, tetapi belum pernah mendengar nada-nada Langit. - The Texts of Taoism AKU sudah sangat terbiasa jika siapa pun dengan cara apa pun mempersoalkan betapa diriku tidak memiliki nama, karena Sepasang Naga dari Cela...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak