#173 Di Mana Panah Sebaiknya Menancap?

December 22, 2014   

GOLONGAN hitam selalu memiliki jurus yang sesuai dengan kehitaman itu sendiri. Itulah sebabnya malam dan kegelapan selalu menjadi kawan, dan begitu banyak siasat memanfaatkan kegelapan malam sebagai bagian dari jurus itu sendiri.

Demikianlah empat bayangan yang berkelebat itu memang benar hanya bayangan, yang tak bisa dibunuh maupun membunuh, dan baru setelah itu pemilik bayangan tersebut datang, meskipun tetap berkelebat sebagai bayangan!

Begitulah kelebat bayangan yang pertama menjadi gerak tipu, sedangkan bayangan kedua adalah ancaman sebenarnya, yang betapapun telah diketahui penolongku ini. Empat bayangan pertama yang tampak sungguh nyata saling memapas dan tak terhenti sama sekali karena memang hanya bayangan, tetapi setelah itu jelas ancaman mautlah yang datang dari balik kegelapan.

Pendekar panah ini tak bisa ke mana pun dengan diriku menempel pada tubuhnya, tetapi ia telah mencabut sebatang anak panah dari sarung anak panah di punggungnya, dan segera berputar melingkar seutuhnya sembari merendahkan diriku maupun dirinya. Berlangsung dalam kecepatan tertinggi, sempat kudengar bunyi perut yang terobek sampai empat kali, dan ketika kami tegak kembali terlihatlah empat tubuh meluncur tengkurap di jalanan, meninggalkan jejak panjang isi perut yang berceceran.

Sisanya hanyalah kesunyian. Meski dalam kegelapan dapat kulihat sepasang mata merah yang mengawasi. Cara seperti itu terasa jauh lebih mengancam daripada jika ia keluar dari dalam kegelapan dan menyerang, karena terhadap setiap gerak dapat segera dilakukan tanggapan. Terhadap ancaman yang tidak kunjung menjadi serangan, kewaspadaan yang tercurahkan kepadanya jauh lebih menguras daya, dan semakin lama ancaman tidak menjadi serangan, semakin terbuka kemungkinan betapa daya kewaspadaan itu terlemahkan.

Pendekar panah itu meniup ujung baja mata anak panahnya yang menghitam dalam kegelapan karena darah yang mengental.

"Huh! Mengotor-ngotori saja!"

Lantas ia menoleh ke arah kegelapan tempat mata merah itu masih mencorong.

"Mata Merah! Mengapa kamu tidak keluar saja dari balik kegelapan itu, mengantar nyawamu kemari!"

Terdengar tawa yang sungguh dingin dalam embusan angin yang seperti tiba-tiba saja datang.

"Pendekar Panah Wangi terbukti sungguh perkasa, tetapi tidak memiliki cukup keberanian untuk memasuki kegelapan itu sendiri."

Tubuh tempat kepalaku menyungkum lemas baru kusadari memang terasa wangi, tidak terlalu tajam, tetapi tidak teringkari. Jadi namanya Pendekar Panah Wangi. Kukira bukan tubuhnya saja yang meruapkan bau wangi, tetapi juga panah-panahnya, yang setelah dilepaskan bisa ditinggal pergi, dan sepanjang jalurnya meninggalkan bau wangi. Itulah yang membuatnya disebut Pendekar Panah Wangi. Kukira mereka yang tidak langsung mati ketika tertancap panah-panahnya sempat mencium bau wangi itu, dan barangkali membawa kenangan atas baunya ketika melayang untuk berbaur kembali dengan leluhur mereka.

"Aku belum sebodoh itu Mata Merah," kata Panah Wangi, ''Aku bukan tak tahu akal bulus golongan hitam, yang dalam segala hal hanya berani bermain dalam kegelapan."

"Seorang pendekar siap menghadapi musuh dari mana saja, Panah Wangi, semua korbanmu juga tak tahu dari mana panahmu datang."

"Sudahlah Mata Merah, katakan saja kepada majikanmu yang pengecut itu, biarlah dia sendiri mengambil sepasang pedang hiasan dinding ini."

Terdengar lagi tawa yang dingin itu.

"Pemilik pedang itu terlalu sibuk, Panah Wangi. Kau tahulah keadaan kota ini."

"Hihihihi! Jadi akan selalu ada orang mengantarkan nyawa kalau begitu! Hihihihihihi!"

"Kunasehatkan kamu jangan ikut campur Panah Wangi, dirimu celaka nanti!"

"Hmmhh! Sejak kapan Panah Wangi takut mati?"

Belum habis kalimat itu, sebatang anak panah melesat dalam gelap dan langsung menancap di antara dua mata merah, yang semula mencorong tapi kini meredup dan merosot ke bawah. Mungkinkah Mata Merah masih sempat menghirup bau wangi panah itu sebelum mati? Kukira tidak dan tidak perlu. Lebih baik manusia meninggalkan dunia yang busuk daripada dunia yang wangi, karena dunia yang wangi sungguh terlalu enak untuk tidak ditinggali.

Laozi berkata:

dengan mengosongkan hati dan mengisi perut

mereka melemahkan kecerdasan mereka

dan memperkuat sumber daya

selalu berkutat membuat orang-orang tak berpengetahuan

tak berkeinginan 1

Kami baru saja bersepakat untuk pergi ke wihara Buddha di petak yang terletak di sudut barat daya Chang'an itu 2, penampungan orang asing yang terjebak di Chang'an selama pengepungan, ketika dari luar tembok terdengar suara hiruk-pikuk maupun bunyi tambur yang menggetarkan perasaan. (bersambung)


  1. Dari ayat ke-3 Daodejing, diterjemahkan dari Arthur Waley, The Way and Its Power: the Tao Te Ching and its place in Chinese thought [1977 (1934)], h. 145.
  2. Pada petak itu terdapat pula sebuah rumah abu, sebuah pagoda setinggi 330 kaki yang didirikan untuk melawan daya yin yang merugikan dari Danau Lekuk Ular di bagian barat kota. Pada serambi beratap dari wihara ini konon terdapat gigi Buddha sepanjang jari telunjuk, yang dibawa seorang peziarah dari Jambhudvipa. Dari denah Chang'an dan penjelasannya dalam Charles Benn, China's Golden Age: Everyday Life in the Tang Dynasty [2004 (2002)], h. xiii, xix.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 7:20 PM
#173 Di Mana Panah Sebaiknya Menancap? 4.5 5 Unknown December 22, 2014 dengan mengosongkan hati dan mengisi perut, mereka melemahkan kecerdasan mereka dan memperkuat sumber daya selalu berkutat membuat orang-orang tak berpengetahuan tak berkeinginan - The Way and Its Power: the Tao Te Ching and its place in Chinese thought GOLONGAN hitam selalu memiliki jurus yang sesuai dengan kehitaman itu sendiri. Itulah sebabnya malam dan kegelapan selalu menjadi kawan, dan...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak