#174 35: Tambur dan Api Mengguncang Bumi

December 23, 2014   

MENDENGAR suara itu, aku teringat kemungkinan yang telah kupikirkan ketika memandang kegelapan di kejauhan. Kemungkinan yang sengaja tidak kuungkapkan karena gambaran yang mengerikan. Kami saling berpandangan, Panah Wangi tampaknya dapat membayangkan apa yang kupikirkan, dan segera menjauhkan tubuhku.

Kedua tangannya bergerak cepat memberikan sejumlah totokan. Segera terasa suatu aliran yang menyegarkan, mengalir ke seluruh tubuh bersama darahku, seolah-olah dalam udara sedingin ini diriku baru saja menghabiskan bakpau panas.

"Telanlah ini." Ia memberikan tiga butir obat yang kelak kuketahui berwarna hijau tua, yang dalam kegelapan ini hanya terlihat sebagai tiga butiran hitam.

"Apa ini?" tanyaku, meski sesungguhnyalah sangat tiada perlu.

"Percaya saja kepadaku, supaya kita bisa saling membantu."

Kutelan tiga butir obat itu. Pahit sekali. Aku menyeringai.

"Bukan racun," katanya lagi, "Itu akan membuat kamu pulih kembali, tetapi janganlah tenggelam ke dalam masalah sendiri, apalagi di tengah pertarungan antara hidup dan mati."

Tanpa menanti jawaban, Panah Wangi menggamitku, dan kami pun berkelebat ke arah tembok benteng, tempat terdengarnya hiruk-pikuk di baliknya, yang sejak tadi menimbulkan rasa penasaran. Namun pikiranku bercabang tentang Panah Wangi. Tidak kuragukan betapa dia telah membantu, membela, dan menolongku, tetapi jika dirinya bisa memberikan obat yang sangat berdaya ini sekarang, mengapa tidak bisa diberikan sebelumnya, sehingga ia terpaksa merangkul dan memapahku sepanjang jalan, bagaikan aku ini pemabuk yang telah minum arak sepanjang malam?

Ini memang bukan obat ajaib, yang membuat luka pedih di bahu kanan dan kiriku akibat sayatan sepasang cincin tertajam itu menutup kembali, tetapi kepedihannya tidak terlalu mengganggu lagi dan kini diriku dalam sekali jejak telah melayang ke atas tembok.

Dari atas tembok sisi barat di bagian selatan, kami lihat pemandangan itu, balatentara Negeri Atap Langit telah menyerbu! Bukan dari dalam kota, karena semua gerbang kota masih tertutup rapat, tetapi dari luar kepungan itu!

Malam memang gelap, tetapi tambur yang ditabuh dengan membahana tampak sengaja membangunkan pasukan pemberontak yang tertidur di dalam tenda, ketika sebagian besar petugas jaga telah ditewaskan para penyusup terlebih dahulu, sementara obor-obor sengaja dinyalakan, tak lebih dan tak kurang untuk memperlihatkan umbul-umbul Wangsa Tang yang berkibar dalam malam menunjukkan ketegasan.

Serbuan mendadak pada malam tergelap jelas menimbulkan kekacauan, sejumlah tenda langsung terbakar, ringkik kuda menambah kepanikan, dan jerit kesakitan menyulut kengerian maupun dendam pembalasan. Menurut Sun Tzu, peperangan terbaik dimenangkan tanpa pertempuran, dan betapapun menangkap atau menawan musuh adalah lebih baik daripada menghancurkannya 1, tetapi serbuan ini tampak tidak ingin memberi peluang mengambil napas dan tidak pula seperti berkehendak membiarkan satu pun manusia tersisa.

Meskipun cukup jauh dan cukup gelap, tetapi segala obor membuatnya jelas bagiku bagaimana wajah-wajah kaum prajurit berseragam tempur dari atas kudanya dengan tenang membacokkan pedang, menusukkan tombak, melecutkan cambuk berduri, menghentakkan tali penjerat bergerigi sehingga memutuskan leher lawan, dan melepaskan pisau-pisau terbang bertali, yang setelah menancap pada jantung langsung bisa ditarik dan dipergunakan lagi, sementara dari belakang pasukan berkuda yang ganas, tetapi sangat dingin dalam pembantaian ini, melesat ke atas ribuan anak-anak panah berapi yang hanya membawa maut kepada lawan ketika turun kembali.

Sepanjang garis pengepungan yang mengelilingi Kotaraja Chang'an semakin banyak tenda-tenda yang terbakar dan apinya menyala-nyala menerangi langit tanpa rembulan. Tidak cukup tenda, para penyusup tanpa kuda berkelebat di celah pertempuran membawa api dengan tugas membakar tenda-tenda besar yang menjadi barak tentara. Pada saat yang sama, para penyusup berilmu silat tingkat tinggi berkelebat pula dengan tugas tersendiri, yakni membunuh para perwira. Siasat ini dapat kuketahui karena teramati berlangsung pada jarak yang paling dekat.

Dikerjakan secara mendadak, tetapi dengan sengaja tidak serentak, garis pengepungan itu terkacaukan ketika pasukan pemberontak yang berada pada titik-titik tak diserang segera membantu yang sedang diserang, mengakibatkan terjadinya ruang-ruang kosong sepanjang garis pengepungan, yang segera menjadi pintu masuk penyerangan baru! (bersambung)


1. Lionel Giles, Sun Tzu's The Art of War [2008 (1910)], h. 10.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:14 PM
#174 35: Tambur dan Api Mengguncang Bumi 4.5 5 Unknown December 23, 2014 Peperangan terbaik dimenangkan tanpa pertempuran, dan betapapun menangkap atau menawan musuh adalah lebih baik daripada menghancurkannya - Sun Tzu's The Art of War MENDENGAR suara itu, aku teringat kemungkinan yang telah kupikirkan ketika memandang kegelapan di kejauhan. Kemungkinan yang sengaja tidak k...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak