#179 36: Mayat-Mayat di Medan Pertempuran...

December 28, 2014   

PASUKAN kaum pemberontak telah terdesak untuk terus-menerus mundur dengan punggung mendekati tembok kota, tempat para pemanah jitu dari atas tembok memilih sasaran terbaik dengan penuh rasa dendam, karena pengepungan tiga bulan lebih yang telah mengakibatkan banyak penderitaan. Munculnya pasukan penjaga perbatasan yang didatangkan dari Benteng Jiayuguan di wilayah Longyu dari balik kegelapan malam menjadi serangan mendadak yang mengejutkan. Jumlah balatentara yang 80.000 orang dengan cepat berkurang oleh serangan 25.000 pasukan tempur terlatih yang tugas se­umur hidupnya hanyalah berperang.

Para pemberontak yang semula mengepung Kotaraja Chang'an de­ngan pagar betis dari enam pen­juru yang teracu kepada penggambar­an mandala I Ching, kini berganti terkepung oleh serangan malam penuh siasat yang dalam waktu singkat telah membakar segenap tenda, peralatan, dan kendaraan penggempur gerbang yang nyaris teronggok tak pernah digunakan. Pasukan penjaga perbatasan dari luar kota menyerbu dari empat penjuru, diiringi dentam tambur yang digemakan langit, dan pembakaran bola-bola peledak yang menimbulkan kembang api di angkasa malam. Suatu gebrakan yang segera berlanjut dengan pembantaian.

Dalam keterkejutan, kepanikan, dan kelelahan, pasukan pemberontak yang pertahanannya tak pernah ditembus seorang penyusup pun, kali ini terkacaukan. Belum habis penataan dalam gerak mundur untuk membalas serangan, pintu-pintu gerbang raksasa tembok benteng mendadak terbuka, memuntahkan pasukan berkuda yang sudah lama sekali menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"

Dalam semangat pembantaian yang dilawan dengan kenekatan mempertahankan hidup, aku masih berdiri memunggungi lawan yang mengira diriku adalah Harimau Perang. Aku memang memasang Jurus Penjerat Naga yang membuat diriku harus menunggu dan menunggu, tetapi karena memunggungi dan tidak bisa melihatnya sama sekali maka kupasang Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, sehingga yang tersampaikan oleh suara tergambarkan dalam keterpejaman mata.

Semula agak sulit mencarinya dalam kecamuk pertempuran ribuan manusia di sekitar dan di antara kami berdua, tetapi kemudian terdapat satu sosok yang sama sekali tidak bergerak. Ilmu pendengaran ini memperlihatkan sosok dalam keterpejaman mata, hanya sebagai garis kuning kehijauan pembentuk sosok itu. Di antara semua garis yang bergerak memang hanya dia yang berdiri mematung. Segalanya diam dari sosoknya yang memegang senjata toya itu, kecuali rambut pada kepala yang tak mengenakan fu tou melambai-lambai tertiup angin. Melihat rambutnya yang panjang tetapi jarang itu, kuduga ia seorang tua, sesuai dengan tingkat ilmu silatnya pada tingkat naga. Bagaimana ia sampai ke medan pertumpahan darah ini?

Pertarungan di sekitar kami masih mengharu-biru, lautan pertempuran bergelombang pada empat sisi tembok benteng Chang'an. Mayat sudah bergeletakan di mana-mana dengan tombak, panah, kelewang, dan berbagai senjata lain menancap tegak maupun agak miring di atas tubuhnya. Di antara mayat-mayat itu, mereka yang terluka terdengar menyuarakan rintihan atas kesakitan tak tertahankan, sebelum terinjak kaki-kaki kuda yang melaju dan berlalu, untuk diganti injakan pasukan berjalan kaki yang mencari-cari lawan.

Dalam semalam segalanya langsung berubah. Menang atau kalah mereka yang semula hidup kini banyak yang mati, mereka yang masih hidup mungkin pula kehilangan tangan atau kaki, dan yang kemarin merdeka kini tawanan yang harus diikat pada tangan maupun kaki. Di sana-sini masih terlihat perlawanan, tetapi lebih banyak lagi yang melarikan diri. Kadang terlihat satu orang yang busananya bersimbah darah dan memegang pedang yang juga merah karena darah, dikepung sepuluh sampai duabelas orang dengan senjata yang ditimang-timang.

Angin dingin berembus kencang membawa pergi sisa-sisa asap kebakaran. Langit mulai menampakkan warna pagi, tetapi manusia bagaikan telah sampai kepada akhir kemanusiaannya. Apakah aku dan orang tua itu merupakan perkecualian? Aku belum bisa mengakui maupun membela diri karena pertarungan kami belum berakhir, bahkan sebetulnya seperti sama sekali belum dimulai!

Pertempuran sudah selesai. Kami masih berdiri dalam suatu jarak tanpa bergerak sama sekali. Aku masih memunggunginya sambil memegang kedua pedang panjang melengkung, yang telah membuat pendekar tingkat naga itu mengira -seperti yang kuinginkan- bahwa diriku adalah Harimau Perang...

Kong Fuzi berkata:

manusia yang mencintai kebenaran

lebih baik daripada yang mengetahuinya,

manusia yang mendapat kebahagiaan di dalamnya

lebih baik daripada yang mencintai kebenaran itu 1


(bersambung)


1. Melalui Lin Yutang, The Wisdom of Confucius (1938), h. 180.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:56 PM
#179 36: Mayat-Mayat di Medan Pertempuran... 4.5 5 Unknown December 28, 2014 manusia yang mencintai kebenaran lebih baik daripada yang mengetahuinya, manusia yang mendapat kebahagiaan di dalamnya lebih baik daripada yang mencintai kebenaran itu - The Wisdom of Confucius PASUKAN kaum pemberontak telah terdesak untuk terus-menerus mundur dengan punggung mendekati tembok kota, tempat para pemanah jitu dari atas...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak