#180 Pertarungan dalam Kesunyian

December 29, 2014   

APAKAH yang dipikirkan orang awam mengenai dunia persilatan? Mereka tentu mendengar, dari kedai ke kedai, bagaimana seorang pendekar diceritakan kedahsyatannya bagaikan sebuah dongeng. Para pendekar berkelebat, bergerak lebih cepat dari pikiran, sehingga pertarungannya tidak dapat dilihat oleh mata orang biasa. Hanya angin yang berkesiur, demikian selalu disebutkan, lantas tinggal lawan-lawannya yang tergeletak sebagai mayat dengan darah mengalir membasahi bumi...

Pada saat itu, sang pendekar sudah berkelebat entah ke mana. Tidak dapat bertanggung jawab, mengapa setiap pertarungan yang tidak dapat disaksikan mata awam itu harus berakhir dengan tumpahnya darah, tanpa salah seorangnya melakukan kejahatan sama sekali.

Kadang aku juga mendengar kisah semacam itu dari kedai ke kedai, dengan seorang pencerita yang sangat memikat dan menghibur, begitu rupa menghiburnya sehingga tidak dapat kupisahkan, apakah para pendengarnya terpesona karena apa yang diceritakannya ataukah karena cara berceritanya itu sendiri.

Aku seringkali tidak bisa mengerti, bagaimana seseorang bisa bercerita secara rinci tentang sesuatu yang diakui tak diketahuinya. Pertarungan antarpendekar, yang tidak dapat dilihat mata awam seperti dirinya, bisa diceritakan kembali sampai gerakan yang terkecil. Masih ditambah dengan segenap latar belakang mengapa pertarungan itu sampai terjadi. Apakah dia sendiri berasal dari dunia persilatan, ataukah hanya juru dongeng belaka?

Maka aku pun tidak dapat mengetahui, apakah yang dipikirkan para prajurit dan para petugas yang mengumpulkan mayat-mayat dengan gerobak, yang lalu lalang di medan pertempuran pada pagi yang muram ini, menyaksikan aku dan lawanku berdiri mematung tanpa gerak sama sekali. Siapa pun yang bergerak, dia hanya bergerak untuk menyerang, tetapi bagi pemegang Jurus Penjerat Naga, siapa pun yang menyerang pertahanannya sudah terbuka.

Aku tidak menyerangnya dan dia tidak menyerangku, tetapi kewaspadaan kami sungguh terjaga. Jika ia menyerang, baru mulai bergerak ia langsung kutewaskan dalam sekejap mata. Jika aku menyerang, berarti aku melepaskan Jurus Penjerat Naga, dan menghadapi seorang pendekar tingkat naga tanpa jurus itu tiada jaminan aku dapat mengalahkannya.

Aku menunggu dia menyerang, dia menunggu aku menyerang. Bahkan tanpa Jurus Penjerat Naga pun setiap pendekar mengetahui betapa dalam setiap serangan terbuka kelemahan. Itulah yang membuat orang tua berambut putih ini menunggu. Sampai kapan ia menunggu, itulah pertarungan yang sedang berlangsung dengan berdiri mematung ini.

Semula cukup banyak orang berkerumun memperhatikan kami. Mereka yang pernah mendengar cerita tentang dunia persilatan, mungkin menghubung-hubungkan apa yang mereka saksikan dengan cerita yang pernah mereka dengar, dan untuk sejenak seperti berharap betapa sesuatu akan terjadi. Namun, sebagian besar masih tercekam oleh akhir pertempuran, yang meski berarti pembebasan, tetap memberikan pemandangan yang menyedihkan. Saat matahari sudah tinggi, tidak ada lagi yang bahkan sekadar ingin tahu apa yang terjadi.

Dari dalam kota orang-orang mengalir dengan gerobak maupun tandu-tandu untuk mengangkut mayat-mayat atau orang-orang yang terluka. Mereka bahkan juga bekerja di sekitar kami, sehingga pada akhir hari tempat itu sudah bersih dari mayat-mayat bergelimpangan, maupun orang-orang terluka yang merintih sepanjang malam sampai tak mampu bersuara lagi.

Namun apabila ada orang yang tanpa penghormatan seperti akan bermain-main dengan kedudukan kami yang mematung ini, seperti akan menyentuh pedang yang kupegang dengan ujung pedangnya, atau bahkan menarik-narik rambut putih orang tua itu, maka akan menancaplah sebatang anak panah tepat pada dahi, yang akan membuatnya mati saat masih berdiri.

Ketika malam tiba di sekitar kami hanyalah sepi, bukan sekadar karena angin dingin dan ketiadaan gerak bukanlah paduan menarik untuk menguji daya tahan tubuh dan hati, tetapi juga karena banyak yang dianggap lebih layak diambil peduli. Dari arah utara terdengar suara tambur dan bunyi-bunyian menyambut kedatangan maharaja, yang memasuki Istana Daming melewati Gerbang Chong Xuan atau Gerbang Hitam Ganda. Nada-nadanya lebih terdengar prihatin daripada gembira.

Segalanya gelap di sekitar kami. Sampai berapa lama kami akan mematung dan saling menunggu seperti ini? Ruang dan waktu kami seperti memisahkan diri dari ruang dan waktu bumi. Dataran hilang, langit hilang, hanya tinggal kami. Aku memunggungi dengan pemusatan perhatian yang lebih dari tinggi. Kulepaskan diri dari diriku dan terus mengawasi.

Betapapun aku bahkan belum pernah melihat wajahnya. Kapan dia menyerang. Kapan dia menyerang. Kapan dia menyerang. Pada saat dia menyerang pada saat itu pula sepasang pedang panjang melengkung ini akan membabat putus lehernya.

Malam berganti pagi. Gelap berganti terang.

Tiga hari tiga malam kami bergeming.

Pada hari keempat aku yang masih memunggunginya mendengar ia jatuh terguling. (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:23 PM
#180 Pertarungan dalam Kesunyian 4.5 5 Unknown December 29, 2014 Aku menunggu dia menyerang, dia menunggu aku menyerang. Bahkan tanpa Jurus Penjerat Naga pun setiap pendekar mengetahui betapa dalam setiap serangan terbuka kelemahan. Itulah yang membuat orang tua berambut putih ini menunggu. Sampai kapan ia menunggu, itulah pertarungan yang sedang berlangsung dengan berdiri mematung ini. APAKAH yang dipikirkan orang awam mengenai dunia persilatan? Mereka tentu mendengar, dari kedai ke kedai, bagaimana seorang pendekar dicerit...


7 comments:

  1. Asyeeeekkkkk......deg deg ssssrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr

    ReplyDelete
  2. #181 moga2 muncul agak pagian besok...hehehe

    ReplyDelete
  3. bro 'n sis yang alirannya sepaham nampaknya sudah banyak nih

    bikin grup donk :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan lupa di LIKE juga fanspage Cerpen dan Cerbung Jawa Pos di sidebar ya... :)

      Delete
  4. Woowww...sesuai harapanku kmrn, #181 jam segini udh tayang...mantabbb. Thx...

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar dengan bijak