#181 Bayangan Hitam di Atas Wuwungan

December 30, 2014   

ANGIN lebih dingin lagi memasuki bulan Asuji tahun 798. Para panglima pasukan pemberontak yang tertangkap telah dihukum pancung. Mereka berjumlah delapan orang, sesuai dengan tata penyerangan yang teracu kepada mandala I Ching. Masing-masing dari kepala para panglima itu digantungkan di tujuh gerbang kota. Satu yang tersisa digantungkan di Pasar Barat.

Kepala panglima yang digantung di Pasar Barat itu kukenali sebagai salah satu panglima dari perbatasan, yang perbincangannya tanpa sengaja kucuri dengar di semak-semak dekat Balai Zi Chen atau Balai Peraduan Merah, ketika bersama Yan Zi Si Walet dan Kipas Sakti menyusup ke Istana Daming. Perempuan yang bercakap-cakap dan minum arak bersamanya waktu itu pernah kulihat berada di antara kerumunan orang-orang yang menonton dan betapa wajahnya bersimbah air mata.

Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang dinyatakan sebagai buron, tetapi selain tiada gambar yang bisa dipasang, aku pun tahu mencari manusia antara ada dan tiada ini nyaris sama dengan kemustahilan.

Sebulan setelah pengepungan usai Kotaraja Chang'an belum pulih seperti semula. Keceriaan dan berbagai macam pesta raya memang seperti telah kembali, tetapi pengalaman selama pengepungan dan pertempuran terakhir dengan sangat banyak korban menjadi kenangan yang memberi tekanan kepada perasaan. Tidak banyak yang dikatakan tentang pengepungan dan pertempuran, tetapi perasaan tidak aman bagai terus membayang.

Betapapun keamanan di dalam kota memang tidak pernah sama lagi, ketika muncul banyak orang yang tidak jelas apakah sekadar pengembara atau pedagang yang lewat. Jika kafilah para pedagang asing memang melapor dan mendaftarkan diri, kemudian menginap atau berdiam di tempat mereka bisa dilacak, maka banyaklah di antara pasukan pemberontak yang melarikan diri, ternyata tidak memilih pergi ke gunung atau ke hutan atau kembali ke desa masing-masing, melainkan masuk ke dalam kota.

Chang'an yang sedang kacau ketika para Pengawal Burung Emas lebih banyak dikerahkan membantu pertahanan kota memungkinkan terjadinya penyusupan besar-besaran untuk membentuk jaringan. Namun para penjahat kambuhan yang bergabung dengan pasukan pemberontak ketika memasuki kota kembali menjadi penjahat kambuhan, yang kemudian akan selalu berebut lahan dengan penjahat kambuhan lama, yang sebelum pengepungan tidak dapat berbuat banyak dengan kehadiran Pengawal Burung Emas.

Bentrokan antara kedua golongan penjahat kambuhan ini tidak mengurangi kejahatan yang terus merongrong kehidupan Chang'an. Jika sebelum pengepungan berlakunya jam malam sangat ketat, dan karena itu justru siang hari di berbagai tempat menjadi rawan, kini dengan perhatian yang terpecah, semula membantu pertahanan kota kemudian memburu para penyusup, kejahatan sehari-hari berlangsung.

Keadaan ini memberikan kepadaku kemungkinan berperan sebagai Harimau Perang, sebagaimana lawan terakhirku itu mengenaliku. Rasanya sudah lama dan terlalu lama aku memburunya dan dia memburuku, dan aku tidak bisa dan tidak perlu melepaskan urusan ini, karena tanpa sumpah apa pun mendengar jawaban darinya atas pertanyaan terpenting, betapapun telah menjadi tujuan yang membawaku ke Chang'an ini.

"Tampaknya kamu memiliki hubungan pribadi dengan Panglima Amrita," kata Panah Wangi, tanpa meminta suatu jawaban.

Aku tidak menjawab dan hanya menghela napas panjang.

Di Negeri Atap Langit terdapat pepatah:

mencintai adalah mengingat

siapa yang tak terlupakan

tidaklah mati 1


Begitulah jika pada siang hari aku berlaku sebagai mata-mata yang mencari keterangan tentang rencana kejahatan, pada malam hari aku adalah pembasmi para penjahat itu. Pada siang hari aku menyamar sebagai pengemis, atau bhikku pengembara bercaping yang hidup dari sedekah, pada malam hari sengaja kuhadirkan sosok diriku dalam citra Harimau Perang. Cukup sebagai bayangan hitam yang berkelebat, dengan dua pedang panjang melengkung, rambut lurus panjang, dan busana yang menonjolkan kekekaran bahu, sehabis memapas dua atau tiga penjahat sekaligus, diriku menghilang. Lantas sisa satu orang yang sengaja kutinggalkan akan mendesis, "Harimau Perang..."

Aku tetap tinggal di wihara Buddha, di dalam petak yang terletak di sudut barat daya Chang'an itu, penampungan orang asing yang terjebak di Chang'an selama pengepungan, yang kini tidak terlalu penuh sesak seperti sebelumnya. Jika berangkat aku mengenakan caping sebagaimana orang awam dari pedalaman; jika pulang, karena melewati jam malam, aku berkelebat melompati tembok dan berjingkat tak terlihat agar tak mengundang pertanyaan.

Namun pada suatu malam, terlihatlah bayangan hitam yang melipat tangan, mencegatku di wuwungan. (bersambung)


1. Dari Theodora Lau, Best-Loved Chinese Proverbs (2009), h. 93.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 12:06 PM
#181 Bayangan Hitam di Atas Wuwungan 4.5 5 Unknown December 30, 2014 Di Negeri Atap Langit terdapat pepatah: "Mencintai adalah mengingat siapa yang tak terlupakan tidaklah mati" - Best-Loved Chinese Proverbs (2009) ANGIN lebih dingin lagi memasuki bulan Asuji tahun 798. Para panglima pasukan pemberontak yang tertangkap telah dihukum pancung. Mereka berj...


2 comments:

  1. Hadeeehhh...kok jln crt #181 spt gak nyambung dg #180 ya. 3 hr 3 mlm saling menunggu, endingnya cm lawan PTN dg level Naga itu cm gt aja? Jatuh terguling sendiri? Haduuuuhh, apa kelaparan dia ya?? wkwkwkwkwk gak asik ah ga ada pertarungan serunya....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar juga ya.. pingsan mungkin si kakek tua itu..

      Delete

Silahkan berkomentar dengan bijak