#195 Orang-Orang Bergigi Hitam

January 13, 2015   

BAGAIMANAKAH kiranya kami bisa mempercayai orang ini? Baru beberapa saat lalu dia mengirimkan sepasang pisau terbang yang terarah ke jantung kami masing-masing, yang jika bukan kami sasarannya besar kemungkinan sudah menancap dan tubuh kami jatuh ke lantai batu pasar itu.

Mungkinkah ia memang tidak bermaksud membunuh kami? Aku hanya berpikir, jika ingin membunuh kami, dengan pengelabuan dan penggiringan yang berhasil dilakukannya, sudah banyak yang bisa diperbuat untuk tujuan itu, yang sejak kapan aku sendiri tidak bisa memastikannya.

Ia melambai agar kami mendekat, sama seperti pedagang apa pun yang sedang menawarkan barang jualannya. Ia seperti seorang penjual peti hias, yang memang gunanya untuk menyimpan, tetapi keseniannyalah yang ditawarkan untuk dibeli.

"Puan dan Tuan Pendekar, tengoklah peti-peti ini, bukan hanya luarnya, isinya pun bagus sekali," katanya dengan wajah ramah.

Menyebut seseorang dengan kata "pendekar" adalah basa-basi yang biasa, tetapi hanya jika tampak menyoren senjata, sedangkan kami berdua tidak membawa senjata apa pun, kecuali pisau terbang yang tadi dilemparkannya.

"Kami tidak membawa uang, Bapak," kataku, "Apakah bisa ditukar dengan pisau terbang?"

Ia tertegun sejenak, tapi lantas tersenyum.

"Tidak ada yang lebih baik daripada senjata terbaik pada masa seperti ini," jawabnya, "Arang tua ini dengan senang hati akan menerimanya."

Aku dan Panah Wangi memberikan kembali pisau terbangnya sendiri.

"Terima kasih, Anak, dan peti manakah yang Anak berdua minati?"

Kami saling berpandangan tidak mengerti.

"Bapak yang tadi menawari," sahutku, "tentu lebih tahu peti seperti apa yang cocok untuk kami."

Ia tersenyum lebar. Umurnya mungkin 50 tahun dan giginya hitam karena sirih.

"Coba tengok peti itu, Anak pasti akan tertarik," katanya sambil menunjuk suatu deretan peti di tempat paling ujung.

Ia sendiri tidak beranjak, tetapi memberi tatapan yang bersungguh-sungguh. Untuk sementara kami lupa betapa sebelumnya lelaki bergigi hitam yang semenjak tadi berpura-pura bodoh itu pernah seperti bermaksud mencabut nyawa kami.

Kami melangkah menuju sudut yang dimaksud. Tempat berjualan peti ini cukup luas, karena peti-peti hias ini ada yang besar maupun yang kecil, di samping ada pula berbagai lemari hias dan cermin rias yang serbabagus.

Begitu banyak peti dan semuanya bagus, jadi kami tidak tahu peti seperti apa yang dimaksud sebagai cocok.

Namun Panah Wangi menunjuk salah satu.

"Itu tampaknya lain," katanya.

Kudekati peti yang ditunjuknya dan tentu saja tampak berbeda. Peti ini terselaputi lumpur yang sudah mengering. Aku seperti pernah mengenalinya, dan tentu saja aku tidak segera mengenalinya, karena aku melihatnya pertama kali di dasar Kolam Taiye dalam kegelapan malam. Itulah peti yang berisi mata uang emas dari Balai Kilauan Berlian di Istana Daming, yang telah jatuh tenggelam ke dasar kolam dan menindih seorang kebiri. Kuingat bagaimana peti ini menindih orang kebiri malang tersebut dalam posisi miring, sehingga tutupnya terbuka, dan terlihat mata uang emas di dalamnya.

Kubuka tutup peti itu. Kosong!

Aku menoleh ke arah orang bergigi hitam berpura-pura bodoh yang sempat kami kira penjahat kambuhan itu, yang ternyata sudah tidak berada di tempatnya lagi!

Kami menuju ke tempatnya tadi berdiri di dekat babut-babut Persia. Hanya ada penjual babut Persia di sana.

"Bapak, di manakah penjual peti-peti hias ini?"

"Bapak? Ibu maksudnya? Itu dia baru datang, katanya tadi pergi ke kolam."

Memang ada kolam di Pasar Timur itu, tempat burung-burung dilepaskan dalam upacara pagi 1.

Ternyata tidak seorang pun mengenal lelaki bergigi hitam dengan usia sekitar 50 tahun itu. Kuingat tatapan matanya yang tajam sebelum melempar pisau terbang itu. Kukira ia sangat pandai memainkan bermacam-macam peran.

"Jadi siapa yang membawa peti ini kemari, Ibu? Kenapa barang kotor ini dijual di sini?"

"Oh, seorang kebiri dari istana yang membawanya," kata ibu paro baya yang juga bergigi hitam karena sirih itu. "Katanya peti bekas gudang perbendaharaan istana, pasti banyak yang menyukainya. Saya membelinya murah sekali."

Lajur ini masih ramai dengan orang-orang berlalu-lalang. Banyak pula para pedagang keliling mengambil barang dagangannya di sekitar lajur ini. Kata perempuan penjual peti hias itu, masih akan banyak lagi peti-peti semacam itu berdatangan lagi.

Aku langsung teringat jaringan orang-orang kebiri! (bersambung)


1. Penafsiran atas penjelasan denah Chang'an dalam Charles Benn, China's Golden Age: Everyday Life in the Tang Dynasty [2004 (2002)], h. xvi.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:33 PM
#195 Orang-Orang Bergigi Hitam 4.5 5 Unknown January 13, 2015 Memang ada kolam di Pasar Timur itu, tempat burung-burung dilepaskan dalam upacara pagi - Charles Benn, China's Golden Age: Everyday Life in the Tang Dynasty BAGAIMANAKAH kiranya kami bisa mempercayai orang ini? Baru beberapa saat lalu dia mengirimkan sepasang pisau terbang yang terarah ke jantung...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak