#199 40: Terdiri dari Napas dan Pikiran

January 17, 2015   

MANTYASIH, bulan Paysa, tahun 872.

Ya, Pembaca yang Budiman, kita kembali ke masa kini lagi, saat aku masih sedang menulis riwayat hidup ini di Kerajaan Mataram, Yavabhumipala.

Namun pekerjaan menulis segala sesuatu yang kuingat itu lagi-lagi harus berhenti. Aku sedang tercenung menghadapi seorang pencuri, tepatnya seseorang yang telah berhasil diperdaya agar berperan sebagai pencuri.

Aku telah mengancamnya, bahwa dengan menotok berbagai syaraf di kepala, aku bisa membuatnya gila, sehingga ia tidak mengenal dirinya sendiri, jika tidak juga berterus terang tentang siapa yang menyuruhnya. Setidaknya aku ingin mengetahui isi kepala orang-orang yang telah menyuruhnya itu.

Apakah mereka mengira gulungan keropak ini adalah kitab ilmu silat, yang jika dicuri dan dipelajari akan memberi janji kejayaan dalam ilmu persilatan? Apakah mereka mengira gurat-gurat aksara pada ribuan lempir lontar yang kutuliskan nyaris tanpa henti siang dan malam agar tak terputus oleh kematian adalah suatu kitab ilmu kesempurnaan? Atau adakah diketahui belaka adanya, betapa memang kitab ini tiada lebih dan tiada kurang adalah banjaran Pendekar Tanpa Nama, yang pada usia 100 tahun menuliskannya dengan niat membongkar rahasia sejarah?

Sebenarnya hanya diriku sendirilah yang tahu pasti, apa yang telah dan masih akan kutulis. Maka betapa pentinglah kiranya bagiku untuk mengetahui apakah yang menjadi pikiran orang-orang di luar sana, karena jika tidak pencarian diriku yang bagaikan tanpa henti ini sungguh mengganggu pekerjaanku.

"Coba katakan sekarang mengapa kamu tidak mungkin mengatakan apa pun, tentang orang-orang yang menyuruhmu itu?"

"Mohon ampun!"

Memang hanya itulah yang selalu dikatakannya bukan? Mungkin aku memang sudah terlalu tua, terutama untuk memberinya rasa sakit supaya ia berterus terang, tetapi aku lebih suka berpikir betapa ia sudah mengatakan segalanya.

Aku tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, tetapi aku sungguh tergoda untuk mengetahui dari mana ia berasal, dan siapa sajakah yang telah memperdayainya untuk mencuri dengan tingkat bahaya yang tidak diketahuinya. Namun untuk menguntitnya ke mana pun ia akan pergi, berarti pula meninggalkan gulungan keropak ini sama sekali tidak terjaga. Sedangkan aku belumlah begitu sakti, sehingga dapat membelah diriku menjadi dua orang, apalagi untuk waktu yang belum dapat ditentukan.

pandangan pikiran

pandangan indera

memisahkan badan hakiki

dari badan dimatangkan;

memisahkan yang halus dari yang kasar,

agar tinggal badan yang terdiri dari nafas dan pikiran 1


Maka aku pun berkata kepadanya.

"Kembalilah kepada mereka yang membuatmu menjadi seorang pencuri, sampaikanlah bahwa yang kutulis bukanlah parwa, karena diriku tidak mengerti akan keindahan kata-kata, dan bukan pula guhya, karena sebagai orang tua yang terlalu siap untuk meninggalkan dunia ini, kepentinganku dengan kerahasiaan sudah tidak ada."

Ia pun segera pergi, seperti takut pikiranku berubah lagi. Tinggallah diriku kini, yang kali ini seperti baru dengan sesungguhnya menyadari, meskipun aku merasa sedang bersembunyi, dalam kenyataannya seolah-olah siapa pun dapat menemukan aku di sini.

"Kakek, siapa yang datang semalam?"

Seorang tetangga yang lewat menyapa, ketika aku mulai mengguratkan aksara dengan pengutik, seperti waktu segera akan habis sebelum aku menyelesaikan penulisan seluruh ingatan ini.

"Oh, orang suruhan yang bodoh sekali, maafkan keributan semalam ya," jawabku.

"Ah, kebodohan, sulit sekali menghapuskannya bukan?"

Aku tersenyum. Tidak jadi menulis. Dari balai desa kudengar suara seruling tiup sisi yang diiringi tetabuhan berujung lancip maupun bebunyian berdawai 2. Tampaknya bagian dari persiapan sebuah upacara keagamaan. Bahagialah mereka yang bisa hidup dalam kenyamanan tanpa mengetahui terdapatnya ancaman apa pun, seperti yang selalu terdapat dalam dunia persilatan!

Aku berjuang memusatkan perhatian. Dalam hati sedikit kusesali mengapa bukan sejak dulu aku menjadi seorang penulis? (bersambung)


  1. Dipinjam dari Tsong-khapa (1357-1419), guru Buddhisme Tibet yang acuannya sama dengan kitab Sanghyang Kahamahayanikan semasa Borobudur. Tengok Nurhadi Magetsari, Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya (1997), h. 287.
  2. Ketiga alat musik ini terdapat dalam panil relief Borubudur, yang dalam bentuk seperti asalnya di India, tidak terdapat lagi di Jawa sekarang. Berdasarkan kronogram Jawa tinangeran swara karengeng jagad, R. T. Warsodiningrat dalam Serat Weda Pradangga menafsirkan gamelan sudah terdapat di Jawa sejak tahun 167 Saka (230 Masehi). Melalui Jennifer Lindsay, Javanese Gamelan (1979), h. 4, 8.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 5:39 PM
#199 40: Terdiri dari Napas dan Pikiran 4.5 5 Unknown January 17, 2015 pandangan pikiran pandangan indera memisahkan badan hakiki dari badan dimatangkan; memisahkan yang halus dari yang kasar, agar tinggal badan yang terdiri dari nafas dan pikiran - Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya (1997) MANTYASIH, bulan Paysa, tahun 872. Ya, Pembaca yang Budiman, kita kembali ke masa kini lagi, saat aku masih sedang menulis riwayat hidup i...


1 comment:

Silahkan berkomentar dengan bijak