#200 Selamat Tinggal, Mantyasih...

January 18, 2015   

AKHIRNYA kuputuskan untuk pindah, tetapi aku belum tahu harus pergi ke mana. Mereka tidak boleh menemukan diriku. Namun mereka semua terlalu pandai untuk diingkari. Para kadatuan gudha pariraksa atau pengawal rahasia istana, para veta­naghataka atau pembunuh bayaran, para pemburu hadiah, para pencuri kitab, tampaknya selalu mungkin untuk melacak jejak sampai kemari.

Aku pernah berpikir bahwa persembunyian terbaik adalah tempat siapa pun tidak mengira, betapa seseorang sedang bersembunyi di sana. Setelah setahun lebih aku menulis terus-menerus tanpa putus, ternyata senjata rahasia bisa mengancam dari segala sudut tak terduga. Mereka bisa melihatku, aku tidak bisa melihat mereka, tidakkah ini sangat berbahaya? Karena terlalu memusatkan perhatian kepada tulisan, tidak terbayang olehku bagaimana perbincangan dari kedai ke kedai tentu akan berlangsung, tanpa dapat kuperkirakan bagaimana semua peristiwa akan digambarkan.

Orang awam yang tidak dapat menyaksikan gerak berkelebat, bagaimana mungkin bercerita tentang dunia persilatan dengan tepat? Dari kedai ke kedai orang-orang awam yang ingin menjadi atau ingin disangka pendekar mengarang cerita yang melebihi penggambaran seorang penulis, yang kemudian dipercaya sebagai nyata. Jika pengumuman tentang hadiah besar bagi penangkapanku masih berlaku, segala peristiwa yang berhubungan denganku akan menjadi bahan cerita bersambung yang tiada habisnya. Dari sini letik gagasan untuk mencariku sangat mudah terbangkitkan, sehingga meskipun tampaknya tiada hubungan antara dunia persilatan dan kehidupan sehari-hari, aku tidak ingin siapa pun yang tidak kukehendaki muncul di hadapanku lagi.

Ini berarti aku harus meninggalkan Nawa, teman kecilku yang semangatnya sangat tinggi untuk mengetahui segala sesuatu tentang dunia ini; juga harus meninggalkan para tetangga di dalam pura ini, yang meskipun kugauli dalam keadaan menyamar, artinya dengan segala kepura-puraan yang dibutuhkan penyamaran, hatiku terkesan oleh kehangatan mereka dengan sejujurnya. Setelah 25 tahun bukan hanya memisahkan diri dari dunia, tetapi juga memisahkan diri dari alam dalam kegelapan gua, aku baru saja belajar kembali menyelami dan menikmati peradaban, meski dalam kedudukan sebagai orang buronan yang harus ditangkap dalam keadaan hidup atau mati.

pergunakanlah Tujuh Api

menyalakan samadhi

membakar kenikmatan dunia

tinggal badan yang jernih

kristal tak tercela

ruang tanpa unsur

hasil kerja yoga 1


Sepekan kemudian aku sudah terkantuk-kantuk di dalam sebuah mapadati atau pedati yang ditarik seekor kerbau, menjauhi Mantyasih. Kepada Nawa telah kutinggalkan pedoman membaca dan menulis di atas sejumlah lempir lontar, termasuk contoh-contoh aksara Jawa selengkapnya. Kuharap minatnya tetap bergelora untuk belajar dari guru yang lain. Dalam hati aku merasa malu kepada diriku sendiri, yang begitu mementingkan diri dalam penulisan riwayat yang tidak kunjung berakhir ini.

Pedati melewati jalan berbatu. Aku pergi tanpa arah yang jelas, asal menjauhi tempat ramai. Dalam tiga hari sampailah kami di Tepusan, lapisan terluar tiga lapis desa dari pusat. Dalam tata wilayah Kerajaan Mataram terdapat susunan 24 desa dalam lingkungan berkiblat, dan setiap kiblat memuat tiga desa. Pusatnya adalah Mantyasih. Untuk sampai ke Tepusan kami telah melewati Kedu dan Pamandayan 2.

Sais gerobak ini seorang Hindu dari kasta Sudra yang bernama Tukai 3. Aku cukup berterima kasih dirinya sudi mengangkutku tanpa bayaran.

"Aku yang mesti berterima kasih kepadamu orang tua," katanya, "aku tidak akan sendirian dalam perjalanan pulang."

Tukai mendapat tugas majikannya mengantar gerabah yang dibuat di Tepusan 4 ke Mantyasih, dan ketika kembali pedatinya kosong. Pantaslah padati atau magulunan ini penuh dengan jerami agar tempayan, cawan, kendi, pasu, cowek, kuali, yang diangkutnya tidak retak karena saling bersentuhan, atau mudah pecah ketika pedati berguncang.

Sebetulnya ia bisa sampai ke Tepusan lebih cepat jika tidak membawa beban, tetapi rupanya Tukai membutuhkan teman berbincang. Dengan teman berbincang ia berjalan terus ketika malam tiba, dan baru beristirahat setelah lewat tengah malam ketika suara burung-burung malam sudah hilang, tetapi berbagai serangga, jengkerik, belalang tetap mendengung sementara cunggareret dan walang krik melengking 5.

Tiada masalah selama dua malam setelah keberangkatan, tetapi pada malam ketiga, ketika kami seharusnya hampir sampai ke Tepusan, Tukai memperingatkan diriku yang bergolek-golek di belakang.

"Bersiap-siaplah orang tua, aku rasa ada begal di depan." (bersambung)


  1. Polesan atas suatu teks Tantrayana, dari Nurhadi Magetsari, Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya (1997), h. 261.
  2. Mengacu "Rajakula Sailendra di Jawa Tengah" dalam Slamet Muljana, Sriwijaya [2006 (1960)], h. 202.
  3. Diambil dari si tukai rama ni tihang (Tukai ayah si Tihang) dalam Jones (1984: 92), melalui Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno (2002), h. 102., meski studi Antoinette M. Barret Jones adalah tentang awal abad ke-10 di Jawa Tengah, tak sampai seabad setelah waktu cerita.
  4. Dinyatakan dalam Titi Surti Nastiti, Pasar di Jawa: Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi (2003), h. 84.
  5. Baca P. J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang [1983 (1974)], h. 254.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 9:29 PM
#200 Selamat Tinggal, Mantyasih... 4.5 5 Unknown January 18, 2015 pergunakanlah Tujuh Api menyalakan samadhi membakar kenikmatan dunia tinggal badan yang jernih kristal tak tercela ruang tanpa unsur hasil kerja yoga - Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya (1997) AKHIRNYA kuputuskan untuk pindah, tetapi aku belum tahu harus pergi ke mana. Mereka tidak boleh menemukan diriku. Namun mereka semua terlalu...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak