#201 Begal Menghadang Tengah Malam

January 19, 2015   

PEDATI ini pun berhenti. Aku berpura-pura tidur. Dalam keterpejaman, dengan Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, dapat kulihat mereka berjumlah enam orang yang membawa bermacam-macam senjata. Apakah yang terjadi selama masa pemerintahan Rakai Kayuwangi yang panjang ini? Kudengar ladang dan persawahan semakin luas, yang berarti seharusnya semakin banyak orang mendapat pekerjaan, dan tampaknya memang di mana-mana orang bekerja atau belajar tentang sesuatu, seperti terbawa oleh berlangsungnya pembangunan candi sepuluh tingkat Kamulan Bhumisambara.

Siapakah mereka? Pemerintahan Kayuwangi disebut berlangsung tenang, tiada pemberontakan, tetapi bukan berarti tiada sempalan. Bukanlah kepada Kayuwangi, yang pada tahun 872 ini telah berkuasa 17 tahun, kelompok sempalan menolak peraturan, melainkan kepada kekuasaan, sebagaimana selalu terdapat sepanjang sejarah peradaban. Betapapun jumlah penduduk juga meningkat cepat, dan tanpa sumber pangan yang cukup merata, akan terdapat berbagai kelompok terpinggirkan yang harus berjuang dengan segala cara demi keselamatan 1.

Tiga orang mencegat di depan. Kudengar tangan kiri Tukai meraba di dalam pedati, mencari-cari goloknya. Tangan kanannya memegang cambuk yang tadi sudah dilepas.

Orang yang terdepan mengacungkan golok, menunjuk langsung ke arah Tukai.

"Harta atau nyawa!"

Tukai tampak tenang.

"Maafkan saya, tiada harta dalam pedati ini."

Orang yang lain lagi tertawa.

"Kenapa harus ada yang disebut pembohong di muka bumi ini?"

Di belakang pedati seseorang melihatku.

"Hanya ada orang tua, karung, dan jerami!"

"Hmmh! Jerami! Gerabahnya sudah laku semua! Mana uangnya?"

"Saya hanya mengantar, uangnya sudah di tangan majikan," ujar Tukai.

Tangan kirinya sudah memegang gagang. Bisakah aku mencegahnya? Pertarungan antarorang awam ini kadang sangat kasar, jauh lebih mengerikan daripada pertarungan dalam dunia persilatan. Tanpa jurus, tanpa seni, tanpa keanggunan. Hanya saling membacok dengan tenaga gwakang atau tenaga kasar.

"Karung itu! Apa isinya? Pasti harta!"

"Itu hanya pakaian-pakaian tua, milik paman saya yang juga sudah tua!"

Tukai sesungguhnya tidak mengetahui bahwa karung itu berisi gulungan keropak hasil pekerjaanku, mengguratkan aksara demi aksara selama setahun lebih, menuliskan riwayat hidupku.

"Karungnya! Bawa kemari!"

Hampir bersamaan ketiga orang yang ada di belakang pedati menjulurkan tangan, berusaha mengambil karung yang kubawa. Aku pun terpaksa berpura-pura bodoh, mendekap karung itu sambil berteriak-teriak ketakutan.

"Jangan! Mohon ampun! Hanya ini milik saya! Jangan!"

"Orang tua bodoh! Lepaskan!"

Dua orang memegangiku dengan agak rumit dari luar pedati, dan orang ketiga berusaha merenggut karung tersebut. Bagiku ini juga tidak mudah, karena lempir yang berasal dari daun lontar itu adalah benda yang juga cukup rapuh.

"Lepaskan!"

"Lepaskan!"

"Lepaskan!"

Tukai rupanya seorang pemberani. Ia tidak takut kepada begal sama sekali. Melihat perlakuan ketiga begal tersebut kepada diriku, ujung cambuknya dengan segera telah menyambar wajah-wajah mereka.

"Akh!"

"Akh!"

"Akh!"

Tukai memang hanya seorang sudra pekerja, tetapi jiwanya seperti jiwa seorang pendekar. Dengan berani diserangnya para perampok yang hanya mengenakan kancut, ikat kepala, dan kalung tali kulit itu.

"Kurang ajar terhadap orang tua! Siapa kalian? Jika kusampaikan ini kepada rajya pariraksa bisa habis desa kalian dibakar!"

Ketiga tangan yang berusaha menarik karung itu terlepas. Dengan segera ia melecut kerbaunya yang dengan terkejut lantas berlari membawa pedati ini. Ketiga begal yang mencegat di depan terpaksa minggir, tetapi seorang begal yang berada di belakang sekarang meloncat masuk sambil mengayunkan parang. Aku terpaksa menendangnya dan tubuhnya pun melayang, menabrak kedua temannya yang juga sedang berlari mengejar. Ketiganya segera bergelimpangan di atas tanah berembun.

Tiga begal yang lain sebetulnya juga mengejar, tetapi tanpa diketahui Tukai, diam-diam kukirim totokan jarak jauh kepada mereka, dan tubuh mereka pun langsung terkulai dalam gelap malam tanpa rembulan.

Namun Tukai tetap mengetahui bagaimana caranya aku menendang, yang sebenarnyalah kulakukan dengan Jurus Melambaikan Kaki Seperti Selendang, yang dengannya kaki tidak akan kalah lincahnya dari tangan.

''Hahahaha! Orang tua! Mengerti silat juga dikau rupanya!"

''Ahh... Sisa masa muda saja," kataku sambil memeluk karung.

Sedikit menyesal juga, gerakan yang berpura-pura seadanya itu masih terbaca oleh seorang awam. Bagaimana jika seseorang dari dunia persilatan melihatnya, jika hanya dari cara melangkah saja seseorang itu bisa langsung menyerang? (bersambung)


1. Periksa tabel perkembangan pemanfaatan tanah tahun 876-882 dalam Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno (2002), h. 322. Data itu berdasarkan prasasti-prasasti, penulis berspekulasi proses mengawalinya sudah berlangsung pada 872, masa episode ini.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 9:41 PM
#201 Begal Menghadang Tengah Malam 4.5 5 Unknown January 19, 2015 PEDATI ini pun berhenti. Aku berpura-pura tidur. Dalam keterpejaman, dengan Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, dapat kulihat mereka berjumlah enam orang yang membawa bermacam-macam senjata. PEDATI ini pun berhenti. Aku berpura-pura tidur. Dalam keterpejaman, dengan Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, dapat kulihat mere...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak