#202 Sang Buronan dalam Penyamaran

January 20, 2015   

PERJALANAN Tukai berhenti di Desa Tri Tepusan. Masih kulihat prasasti yang ditulis 30 tahun yang lalu itu, tentang penganugerahan tanah Sri Kahulunnan bagi pembangunan Kamulan Bhumisambhara yang sampai hari ini belum selesai juga. Namun aku tidak bisa terlalu lama berada di sana karena sepanjang malam Tukai hanya menyebutkan bahwa Pendekar Tanpa Nama yang sudah sangat tua masih saja dicari banyak orang.

"Apakah enaknya menjadi tua sebagai buronan," katanya, "Orang-orang mengatakan ilmunya tinggi sekali, tetapi aku le­bih baik tidak bisa bersilat sama sekali daripada diburu-buru dengan cara seperti itu."

Tukai tidak keliru, karena hidup dengan tenang memang tidak perlu dipertukarkan dengan kehidupan macam apa pun juga. Aku sempat berpikir untuk melebur dengan kehidupan para kumbhakaraka atau pembuat gerabah yang berada di desa itu, tetapi aku tidak merasa sudah cukup jauh dari Mantyasih, karena Tepusan masih termasuk ke dalam 24 desa yang tergabung dalam panatur desa atau panasta desa.

Itu berarti aku harus meneruskan perjalanan, dan untuk itu aku memerlukan biaya perjalanan, karena jika di Mantyasih aku bisa menjual kemampuan mengguratkan aksara pada lempir lontar, kini aku tidak mungkin menetap lebih lama untuk menjalankan pekerjaan semacam itu. Pekerjaan yang bisa kulakukan sambil melakukan perjalanan adalah menjadi pedagang keliling, tetapi aku tidak mungkin berkeliling dalam arti kembali ke tempat semula.

Jika pedagang keliling kembali ke tempat dia mengambil barang dagangan, dengan menyerahkan uang seharga barang dan menyimpan kelebihan yang menjadi keuntungannya, maka aku harus membayar lebih dulu harga barang, apa pun barang yang diperjualbelikan itu. Dengan sedikit uang yang kukumpulkan di Mantyasih, di antara kesuntukanku menulis riwayat hidup ini, aku mulai dengan membeli gerabah maupun pedati milik Tukai itu. Gerabah kubeli sesuai harga jualnya tetapi pedati maupun kerbaunya kubeli di atas harganya, bahkan dua kalinya, agar majikan si Tukai mudah melepasnya.

Kepada Tukai kuserahkan 1 tahil mata uang emas yang senilai dengan 60 mata uang yang terbuat dari campuran perak, tembaga, dan timah. Uang emas itu dipotong seperti dadu dan diberi cap beraksara Jawa yang bunyinya ta sebagai singkatan tahil. Kuingat mata uang Mataram ini oleh orang-orang Negeri Atap Langit yang berdagang di sepanjang pantai utara Yavabhumi disebut sho-p'o-kin, tetapi penduduk Mataram menyebut uang emas mereka sendiri sebagai kati, suwarna, masa, dan kupang. Satu kati emas sama dengan 20 dharana uang perak. Sementara 20 suwarna sama dengan 20 tahil, dan 1 suwarna atau 1 tahil sama dengan 16 masa. Adapun 1 masa sendiri bernilai setara 4 kupang.

"Orang tua, ternyata dikau kaya, jadikanlah saya budakmu saja!"

"Itu sudah seluruh hartaku, Tukai, bukan apa-apa dibanding pembelaanmu atas jiwaku."

"Ah, tidak ada yang saya lakukan untukmu, bawalah saya bersamamu."

"Tidak Tukai, dengan uang itu dirimu bisa membeli pedati dan kerbaunya, jadilah majikan atas dirimu sendiri."

"Saya hanyalah seorang sudra, tiada pantas menjadi majikan siapa pun juga."

"Itu tidak benar Tukai, jadilah manusia merdeka!"

Dengan kalimat itu kutinggalkan Tepusan tanpa sempat mendapat kesan yang lebih dalam, setelah lebih dari 25 tahun tak pernah menengoknya lagi. Kami saling melambai di batas desa, tetapi Tukai ternyata masih berteriak juga.

"Orang tua! Ada yang masih terlupa!"

"Ya? Apakah itu kiranya?!"

"Nama!"

"Ya?!"

"Nama! Saya belum tahu dikau punya nama!"

"Hahahahaha! Aku tak bernama! Hahahahaha!"

Sampai dia menjadi titik kecil, Tukai masih berdiri di sana. Apakah yang dipikirkannya? Dengan sekeping uang emas, nasibnya telah berbalik untuk seterusnya. Ternyata bukan dewa Brahma, Vishnu, atau Siva, dan tidak juga Durga, yang menentukan nasib manusia. Tidak juga Buddha.

Nagarjuna berkata:

segala sesuatu menurunkan

keberadaannya dari ketaktergantungan

dan tiada sesuatu dalam dirinya sendiri 1


Dengan uang itu kuharap Tukai akan membeli pedati dan kerbaunya sendiri, sehingga akan diterimanya uang sewa yang utuh, dan lambat laun kemudian bisa membeli tanah, lantas menjadikannya sawah. Bukan sebaliknya, memasuki kedai dan menghabiskan uangnya untuk menenggak tuak, arak, waragang, badyag, atau budur, sebagaimana yang biasa dikatakan sebagai perilaku rakyat kecil, yang betapapun selalu kutolak kepastiannya. Namun jika memang akan terjadi, tentu akan terdengar kalimat seperti ini:

"Pendekar Tanpa Nama yang sudah tua renta melewati desa kita, dan kita melewatkan 10.000 keping emas begitu saja!" (bersambung)


1. Dari Nagarjuna Quotes dalam mobile.brainyquote.com, diunduh 17 Januari 2015.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 2:43 PM
#202 Sang Buronan dalam Penyamaran 4.5 5 Unknown January 20, 2015 segala sesuatu menurunkan keberadaannya dari ketaktergantungan dan tiada sesuatu dalam dirinya sendiri - Nagarjuna Quotes PERJALANAN Tukai berhenti di Desa Tri Tepusan. Masih kulihat prasasti yang ditulis 30 tahun yang lalu itu, tentang penganugerahan tanah Sri ...


1 comment:

Silahkan berkomentar dengan bijak