#203 Alasan dan Kebijaksanaan

January 21, 2015   

BEGITULAH aku merayap dengan barang dagangan di dalam pedatiku, dengan kerbau yang meskipun tampak gagah tetaplah kerbau, yang seperti selalu ingin bermalas-malasan di air. Sering juga kubiarkan dia berendam pada siang hari yang panas, sementara di bawah pohon yang rindang kuteruskan tulisanku. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, kutulis sebisa dan secepat mungkin, mengingat umur yang memungkinkan diriku ini setiap saat mati.

Sangat sering dalam waktu yang lama tidak seorang pun melewati tempat itu. Orang-orang pergi ke sawah atau berburu ke hutan, tetapi tidak selalu pergi ke desa lain, apalagi jarak dari desa yang satu ke desa yang lain itu cukup jauh. Dalam 25 tahun ini penduduk memang bertambah, bahkan terlihat orang-orang asing baik dari Jambhudvipa maupun Negeri Atap Langit, tetapi jarak antardesa masih jauh seperti dulu.

Sebetulnya sapi atau kuda beban lebih tahan berjalan jauh, tetapi aku ingin segera pergi dari Desa Tri Tepusan, sehingga kubayar saja harga kerbau itu kepada majikan si Tukai, lengkap dengan pedatinya. Bahkan kubayar harga sejumlah besar gerabah yang kemudian menjadi isinya, dan keberadaan karungku pun menjadi tersamar.

Di jalan, di batas desa, kadang terdapat rajya pariraksa yang mencegat dan memeriksa, meski keadaan sebetulnya aman, kecuali jika belum tertangkapnya diriku sungguh dianggap membahayakan kerajaan. Namun, meski mereka tampak membawa lempir lontar bergambar diriku, dan sambil memegangnya membanding-bandingkannya dengan wajahku, mereka tetap tidak dapat mengenaliku.

Tentu karena rambutku kusemir hitam, kuikat pada tusuk rambut dari kulit penyu yang membentuk kadal memanjat, dan karenanya aku lebih tampak seperti 60 tahun daripada 101 tahun, maka selalu lolos dalam pemeriksaan-pemeriksaan itu.

Biasanya memang mereka menengok ke belakang pedati, bahkan menusuk-nusukkan tombaknya, dan ketika melihat karung itu tidaklah curiga.

"Mau ke mana orang tua?"

Kusebut saja desa yang ada di depan dan kukatakan aku hanyalah seorang pedagang. Mereka adalah pengawal pusat pemerintahan di Mantyasih sehingga tidak mengenal penduduk desa, mungkin pula menjalankan tugasnya dengan perasaan bosan.

Aku teringat Tukai. Apakah yang dilakukannya dengan uang emas itu? Aku merasa sangat bodoh ketika menyadari betapa jika ia masuk kedai dan minum tuak tentu akan banyak berbicara. Semua orang akan segera mengetahui bahwa telah berlangsung peristiwa seru pada tengah malam di luar batas desa, dan setelah membantunya lolos dari sergapan para begal, tanpa pernah disangka memberikan sekeping uang emas bernilai 20 dharana uang perak.

"Padahal dia sudah tua?"

"Tua!"

"Dan dia bisa bersilat?"

"Bisa!"

Perbincangan seperti ini terdengar langsung maupun terdengar dari mulut lain di kedai lain, jika didengar pula oleh seorang anggota kadatuan gudha pariraksa atau pengawal rahasia istana maupun perkumpulan rahasia dari dunia hitam akan membuat mereka segera melacak jejakku.

Namun jika si Tukai dengan semangat tinggi membeli pedati, lengkap dengan kerbaunya pula, akan menimbulkan keheranan yang lebih besar pula, terutama karena dilakukan seorang sudra. Gagasan siapakah kiranya yang mengira seorang sudra bisa melompat jadi waisya? Cerita yang sama pastilah akan terdengar juga!

Nagasena berkata:

alasan adalah satu hal

kebijaksanaan adalah lain hal;

kambing dan domba

lembu dan kerbau

onta dan keledai

memiliki alasan,

tetapi tidak memiliki kebijaksanaan 1


Demikianlah dari Tepusan aku membawa gerabah seperti cawan, mangkuk, tempayan, kendi, pasu, cowek, kuali yang terjual di Turayun; dari Turayun aku mengambil barang-barang logam seperti dandang, perisai, kawat, senjata tajam, dan menjualnya di Langka. Dari Langka aku mengambil bledug atau garam dan menjualnya di Tanjung. Dari Tanjung aku membawa salimut atau selimut dan kalambi atau pakaian, baik itu wdihan untuk laki-laki dan ken untuk perempuan, lantas menjualnya di Hampran. Begitulah aku ternyata mengelilingi 24 desa yang terletak pada delapan penjuru mata angin yang mengelilingi Mantyasih, membawa gula aren, kletik atau minyak kelapa, dan aneka pewarna, menyusuri desa-desa Sor, Ruhu, Tulang Air, dan Kayu Asam 2.

Menjual artinya aku menjual kepada kaum pedagang di batas desa, yang akan menjualnya di pasar desa pada hari pasar. Kuanggap semakin sedikit aku bersua manusia semakin baik. Semakin sedikit gangguan semakin cepat pula selesainya kerja penulisanku ini.

Akhirnya kujual pedati dan kerbauku. Dengan menyandang karung berisi gulungan-gulungan keropak, dari ribuan lempir lontar yang berisi tulisanku selama setahun ini, kutatap kedua gunung kembar itu, Sumbing dan Sindoro. Di antara kedua gunung itulah terletak Celah Kledung! (bersambung)


  1. Dari Milindapanha 32 dalam www.beliefnet.com, diunduh 17 Januari 2015.
  2. Segenap data mengacu Titi Surti Nastiti, Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi (2003).
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:08 PM
#203 Alasan dan Kebijaksanaan 4.5 5 Unknown January 21, 2015 Nagasena berkata: alasan adalah satu hal, kebijaksanaan adalah lain hal; kambing dan domba, lembu dan kerbau, onta dan keledai memiliki alasan, tetapi tidak memiliki kebijaksanaan - Milindapanha 32 dalam www.beliefnet.com BEGITULAH aku merayap dengan barang dagangan di dalam pedatiku, dengan kerbau yang meskipun tampak gagah tetaplah kerbau, yang seperti selal...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak