Kami ikuti jejak tetesan darah dari tempat kuda yang lehernya tertembusi tiga anak panah dari tiga jurusan itu, ke sebuah batu besar, dengan melenting dari batu yang satu ke batu yang lain, seperti tetesan-tetesan darah itu telah menunjukkannya.
Di balik sebuah batu besar pemimpin regu Pengawal Anggrek Merah itu terduduk dengan panah menembus dadanya. Darah membasahi busananya yang ternyata masih merah. Demi penyamarannya, ia belum sempat mengganti busananya yang serbamerah, karena dari tempat ditemukannya adik seperguruan mereka sampai ke tempat ini, memang belum terdapat desa persinggahan tempat dirinya bisa membeli dan mengganti baju.
Ternyatalah bahwa ia masih hidup, dan masih mengenaliku dari malam pertemuanku dengan Putri Anggrek Merah dulu. Tentunya ia juga mengenali Panah Wangi dari gambar-gambar pencarian orang yang disebarkan Dewan Peradilan Kerajaan. Sebilah pedang jian tergolek di sampingnya, pedang jian yang lain masih tersoren di punggungnya.
Kulihat dua batang anak panah yang patah tidak jauh dari situ, terseret arus lantas menyangkut di antara batu-batu yang lebih kecil. Itu berarti perempuan Pengawal Anggrek Merah ini telah diserang secara mendadak dari tiga arah, hanya sempat mencabut satu pedang, menangkis dua anak panah, tetapi yang ketiga menembus dadanya, tepat di tengah agak ke bawah.
Matanya yang semula sayu menatap ke kejauhan kembali menyala melihat kedatangan kami, seperti yang sebelumnya kehilangan harapan kemudian harapan itu mendadak kembali.
"Pendekar Tanpa Nama... Pendekar Panah Wangi..."
Suaranya sudah terlalu lemah. Panah Wangi memberi tanda jangan bicara, tetapi perempuan pengawal ini sungguh menyadari, betapa dirinya akan meninggalkan dunia ini.
"Ilmuku tidak ada artinya di dunia persilatan.... Tidak mampu melindungi Putri Anggrek Merah, tidak mampu melindungi maharaja, tidak mampu membalaskan dendam adik seperguruanku yang..."
Panah Wangi memegang tangannya.
"Aku mengerti apa yang telah terjadi, mereka tidak akan kubiarkan lolos tanpa hukuman. Percayalah kepadaku bahwa dendam adik seperguruanmu akan kubalaskan."
Pengawal Anggrek Merah itu mengambil pedang di sampingnya, meletakkannya di tangan Panah Wangi. Ia berbicara dengan sisa daya hidupnya.
"Bunuhlah mereka dengan pedangku ini..."
Lantas kami tahu betapa ia telah pergi.
Sang Buddha berkata:
dalam bahasa malaikat,
ular, dan peri,
dalam khotbah setan,
perbincangan manusia,
dalam diri mereka semua
telah kuuraikan
kedalaman ajaran dharma
dan dalam lidah siapa pun
makhluk hidup apa pun
akan memahaminya 1
ular, dan peri,
dalam khotbah setan,
perbincangan manusia,
dalam diri mereka semua
telah kuuraikan
kedalaman ajaran dharma
dan dalam lidah siapa pun
makhluk hidup apa pun
akan memahaminya 1
Seperti para Pengawal Anggrek Merah meninggalkan adik seperguruannya, kami tinggalkan dia di dalam tumpukan batu-batu, yang tidak mungkin dibongkar binatang besar. Namun sepasang pedang jian miliknya kami bawa, Panah Wangi memberikan kepadaku yang masih tersoren di punggungnya.
"Siapa pun yang lebih dulu bertemu anjing-anjing itu sebaiknya segera membunuhnya," ujar Panah Wangi, dengan nada yang seperti mengatakan, setuju atau tidak setuju aku harus mengikutinya.
Kami bersepakat bahwa para pemanah dari tiga jurusan, yang telah menewaskan kuda dan penunggangnya itu tidaklah berada di sana karena kebetulan. Para penculik telah membayar para pemanah untuk melenyapkan para pemburu mereka. Namun tentunya para penculik itu tidak akan menyangka bahwa di belakang para pemburu itu terdapat penguntit seperti kami.
"Kalau melihat anak panahnya yang tidak memiliki ciri kelompok tertentu, justru kukira mereka dari perkumpulan rahasia yang menjual tenaga kepada siapa pun yang mampu membayarnya," ujar Panah Wangi.
Di wilayah bentrokan seperti itu, terjepit antara Khaganat Uighur di utara dan Kerajaan Tibet di selatan, kukira sangat penting bagi para jiedushi atau panglima perang penguasa wilayah untuk membeli rahasia apa pun, sebagai bagian dari usaha memenangkan pertempuran sehingga muncul berbagai perkumpulan rahasia untuk melayani kebutuhan tersebut. Tidak jarang perkumpulan rahasia ini memang dibangun di antara khalayak, di wilayah kekuasaan siapa pun, oleh pihak tentara itu sendiri. Perkumpulan rahasia seperti ini kemudian juga mendapat pesan untuk melakukan pembunuhan.
Panah Wangi tampak sangat geram.
"Mari kita buru mereka!" (bersambung)
1. Melalui Edward Conze, Buddhist Scriptures [1973 (1959)], h. 86.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak