KAMI memasuki kedai dan langsung duduk di sebuah sudut tanpa melepaskan caping. Kedai itu gelap karena cahaya matahari dari luar tidak masuk sama sekali. Penerangan hanya datang dari lampu minyak. Tampak di tengah ruangan 18 orang sedang duduk, makan dan minum, sementara tiga orang yang memegang busur dan menyandang sarung anak panah di pinggangnya tetap berdiri. Mereka ternyata sedang berselisih paham.
"Saudara-saudara saya Tiga Panah Maut sebaiknya duduk dan makan-minum bersama kami," ujar salah satu dari 21 orang itu, "Tidak baik kita bicara seperti ini, kami duduk sambil makan dan minum, saudara-saudara berdiri tanpa makan dan minum. Kami dari Golongan Murni tidak biasa memperlakukan orang seperti ini."
"Saudara saya dari Golongan Murni tahu betul, Tiga Panah Maut tidak bisa duduk, makan dan minum bersama sebelum urusan selesai," jawab salah seorang dari Tiga Panah Maut dengan wajah bersungut-sungut, "Kami sudah melanggar kebiasaan dengan tidak menerima bayaran di depan, sekarang saudara saya hanya membayar 10 dari 15 keping emas yang dijanjikan, bagaimana mungkin kami bisa duduk dan makan-minum tenang-tenang!"
"Saudara saya tidak mau mengerti, kami tidak melanggar janji. Sudah kami sampaikan dari tadi, karena keping emas itu berasal dari gudang perbendaharaan negara, maka nilai 10 keping emas itu sama dengan 15 keping emas. Saudara-saudara saya Tiga Panah Maut boleh bertanya kepada siapa pun yang memahami tata keuangan negara, keping uang emas yang tidak diperjualbelikan itu nilainya lebih tinggi dari tail emas yang beredar."
"Kami memang tidak mau dan tidak perlu mengerti, sebaiknya saudara-saudara saya dari Golongan Murni menepati janjinya kepada Tiga Panah Maut, yang telah membantunya menamatkan riwayat seorang Pengawal Anggrek Merah, yang dari jarak dekat, satu lawan satu, bukan merupakan lawan yang mudah diatasi."
Salah seorang dari rombongan Golongan Murni itu menghentikan makannya dan berdiri.
"Apakah Tiga Panah Maut mengira kami tidak mampu melawan pelacur-pelacur busuk itu? Tiga Panah Maut memang telah membunuh pemimpin regu Pengawal Anggrek Merah, tetapi delapan yang lain mati oleh tangan Golongan Murni sendiri! Tanya saja sendiri! Mereka yang melakukannya semua ada di sini!"
Panah Wangi sudah memegang gagang pedang. Aku menatapnya tajam sambil menggeleng.
Wajah Tiga Panah Maut yang berbusana seperti orang-orang Uighur itu sudah memerah karena menahan marah.
"Hmmh! Jika kalian sudah tidak ingin bersaudara lagi dengan Tiga Panah Maut, baiklah! Sekarang kami akan pergi dan persaudaraan kita cukup sampai di sini!"
Tiga Panah Maut itu lantas berbalik dan melangkah menuju ke pintu tempat tadi kami masuk. Namun belum sempat membukanya tiga bilah pisau terbang meluncur ke arah punggung masing-masing dari Tiga Panah Maut itu.
Siapa pun yang menyaksikan adegan ini tentu membayangkan betapa Tiga Panah Maut itu akan jatuh tanpa nyawa dengan pisau terbang menancap dalam-dalam di punggungnya. Namun tanpa mata awam dapat melihatnya, seperti punggung itu bermata, ketiga orang itu berputar ke samping sehingga pisau terbang itu meluncur terus dan menancap ke pintu, sementara tiga orang dari Golongan Murni yang telah meluncurkan pisau-pisau terbang itu terpental dari bangkunya dengan panah menancap dalam-dalam di dadanya.
Melihat nasib ketiga saudara mereka yang culas itu, 18 orang pengikut Golongan Murni yang lain segera bangkit dan mengepung Tiga Panah Maut.
"Golongan Murni! Mengapa kalian pakai nama itu jika sikap kalian begitu culas?"
"Kalian orang-orang Uighur memang begitu bodoh dan kurang beradab, 100 keping emas pun tidak ada artinya untuk kalian. Dasar makhluk di bawah tenda!"
Tiga Panah Maut mencabut tiga pisau terbang pada pintu, yang langsung melesat ke arah orang-orang Golongan Murni, dan tiga tubuh pun terjengkang dengan pisau terbang di dahi. Berarti jumlah mereka sekarang tinggal 15, yang tanpa basa-basi lagi segera menyerang Tiga Panah Maut yang tampaknya mereka pahami sangat piawai menggunakan senjata-senjata jarak jauh.
Namun dalam pertarungan jarak dekat di ruang sempit, seperti di dalam kedai itu, pun Tiga Panah Maut tampak masih unggul. Dengan senjata pedang pendek melengkung, tiga lagi dari orang-orang Golongan Murni - golongan yang menganggap orang-orang dari luar Negeri Atap Langit lebih rendah derajatnya - ambruk dengan isi perut terburai.
Maka sisa 12 orang mulai menyerang dengan kasar dan nekad tanpa menggunakan jurus silat lagi. Meja, bangku, guci, cawan, beterbangan ke arah Tiga Panah Maut.
Aku dan Panah Wangi berpandangan. Di manakah maharaja? (bersambung)
#220 Perkelahian di Dalam Kedai
February 7, 2015 - Posted by Unknown in Bagian 44
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 11:07 PM
#220 Perkelahian di Dalam Kedai
4.5
5
Unknown
February 7, 2015
Panah Wangi sudah memegang gagang pedang. Aku menatapnya tajam sambil menggeleng. Wajah Tiga Panah Maut yang berbusana seperti orang-orang Uighur itu sudah memerah karena menahan marah.
KAMI memasuki kedai dan langsung duduk di sebuah sudut tanpa melepaskan caping. Kedai itu gelap karena cahaya matahari dari luar tidak masuk...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak