Dia berada di dekat kami karena mau bertanya makanan apakah kiranya yang akan kami pesan, ketika keributan percakapan antara Tiga Panah Maut dan 21 orang Golongan Murni berkembang cepat menjadi pertarungan yang dengan segera menumpahkan darah. Kini tinggal 12 orang yang bergulat di lantai kedai, mengeroyok Tiga Panah Maut yang tidak dapat lagi menggunakan anak-anak panahnya yang bagaikan bermata. Namun orang-orang Golongan Murni seharusnya menyadari betapa seni gulat berada dalam penguasaan warga Khaganat Uighur yang hidupnya di bawah tenda itu.
Tidak sabar menanti usainya perkelahian, Panah Wangi memegang leher baju pemilik kedai, lantas membantingnya ke meja kami yang belum berisi apa-apa.
"Cepat katakan di mana mereka sembunyikan yang satu orang lagi," kata Panah Wangi dengan dua jari tangan kanan yang seperti siap untuk menotok, ''atau kubutakan kedua matamu sekarang juga!"
"Ah, ampuni saya Puan, mereka datang hanya 21 orang, kemudian baru menyusul tiga kawan Uighur itu," katanya ketakutan.
Meskipun Panah Wangi berpakaian lelaki, kecantikannya tidak dapat diingkari, tetapi kecantikannya tetap tak bisa mengalihkan rasa ngeri karena ancaman-ancamannya.
"Pembohong!"
"Ampun Puan! Saya tidak bohong Puan!"
"Di luar ada 22 kuda! Mana mungkin penunggangnya hilang begitu saja!"
"Saya belum keluar semenjak mereka datang Puan. Jumlah itu sangat banyak untuk sebuah persinggahan terpencil," katanya dengan terbata-bata, "Permintaan mereka pun banyak untuk kedai yang hanya dilayani satu orang."
Setelah berbagai percobaan ancaman lagi, sampai pemilik kedai itu berkata, "Silakan saja membutakan mata saya Puan, saya tetap tidak tahu tentang satu orang lagi yang Puan cari," barulah Panah Wangi melepaskannya.
Namun sekarang kami baru sadar bahwa jumlah kuda yang 22 itu bukan selisih satu, melainkan justru kurang. Benar satu kuda itu sebelumnya ditunggangi maharaja, tetapi bukankah Tiga Panah Maut telah kami jejaki juga menunggang kuda, tetapi tiga kudanya itu tidak ada?
Dari gelanggang gulat kulihat dari tubuh-tubuh yang bergulat seperti tumpukan ular itu mulai jatuh korban. Terdengar suara-suara tulang dipatahkan di dalam daging. Jika tulang itu adalah tulang leher, pemiliknya lantas tiada bergerak lagi, karena memang tidak lagi bermukim di dunia ini. Orang-orang Uighur itu seperti memiliki jurus belut putih, dikunci dengan jurus apa pun selalu lolos, hanya untuk ganti mengunci dengan kedua tangan sampai yang dikuncinya mati.
Krrrrrtttttkkkk!
Krrrrrrrrrrtttkkk!!
Grrrrtk! Grrrrttkk!
Dari 12 berkurang jadi sembilan, berkurang lagi jadi enam, dan kini Tiga Panah Maut hanya berhadapan dengan tiga orang Golongan Murni.
"Jika kalian bayarkan saja kekurangan keping emas yang kami minta, kalian masih bisa meneruskan pesta," ujar salah satu dari Tiga Panah Maut itu.
"Jangan terlalu sombong!"
Kali ini segalanya berjalan cepat, mereka bergerak mengeluarkan senjatanya. Dalam sekejap mata keenam-enamnya ambruk bersama tanpa nyawa. Kelewang bercincin dari pihak Golongan Murni membelah dada setiap orang dari Tiga Panah Maut, yang masing-masing masih memegang pedang pendek melengkung bersimbah darah, karena membelah perut masing-masing lawannya.
Begitu banyak untuk sebuah pertarungan kehendak.
Kong Fuzi berkata:
"Kita belum tahu tentang kehidupan,
bagaimana kita tahu tentang kematian?" 1
bagaimana kita tahu tentang kematian?" 1
Pemilik kedai mengerahkan tetangga-tetangganya yang sedikit itu untuk mengurus mayat-mayat bergelimpangan. Tidak ada seorang pun dari tetangganya mengaku pernah melihat seseorang lain di luar orang-orang Golongan Murni dan Tiga Panah Maut. Tentu maharaja sudah disamarkan. Meski tidak ada orang menjual pakaian, tetapi para penculik pasti telah menyiapkannya. Namun tetangga ini hanya menghitung, dan cenderung bisa dipercaya, lagipula hanya sekitar lima rumah yang ada di sana itu telah kami tengok pula. Perhatianku tertuju kepada rumah tempat para pengantar surat dan kuda cepat pengantar surat ditambatkan.
Seperti bisa membaca pikiranku, Panah Wangi bertanya,
"Mungkinkah maharaja dilarikan dengan salah satu kuda pengantar surat?" (bersambung)
1. Lin Yutang, The Wisdom of China and India (1942), h. 829.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak