Kami meneliti kembali jejak yang belum sempat kami periksa, karena sudah terburu-buru masuk ke dalam kedai. Telah kami minta gerobak yang mengangkut mayat itu untuk berjalan agak memutar agar tidak merusak jejak-jejak kuda yang penunggangnya sudah mati semua, karena jejaknya sedang kami baca.
Rupanya setelah berpencar ke sembilan jurusan, setiap dua orang Golongan Murni itu sudah siap untuk diburu oleh para Pengawal Anggrek Merah. Meminjam tangan orang lain ataupun menggunakan tangannya sendiri, setiap orang dari Pengawal Anggrek Merah itu berhasil mereka bunuh. Mengingat perbandingan ilmu silat kedua kelompok ini, karena kemampuan masing-masing telah kulihat sendiri, para Pengawal Anggrek Merah hanya dapat ditewaskan dengan siasat licik dan keji. Aku berharap, tidak satu pun dari Pengawal Anggrek Merah harus melewati pengalaman mengenaskan seperti yang dialami adik seperguruan mereka sebelum mati.
Orang-orang Golongan Murni ini tentunya sudah bersepakat untuk bertemu di sini. Jejak dua kuda yang datang dari sembilan arah, delapan di antaranya langsung menuju kedai, tetapi jejak tiga kuda yang kami ikuti ternyata bertemu dengan jejak tiga kuda lain lagi kira-kira 1 li dari kedai. Cukup jelas bahwa dua kuda itu berpenunggang dan satu tidak berpenunggang karena disediakan untuk maharaja.
"Mengapa kudanya harus diganti?" kataku.
"Tampaknya mereka sengaja membawa kuda tambahan untuk menjaga kesegarannya agar tidak mengurangi kecepatannya," ujar Panah Wangi.
"Karena tempat itu jauh?"
"Belum tentu. Bisa juga dekat. Mereka ingin segera menyembunyikannya."
"Di tempat terdekat dari sini?''
"Ya, jika dugaanku tepat, di tempat terdekat dari sini."
Namun dari mana dan siapakah kiranya para penjemput maharaja itu? Kami pun mengikuti jejak yang sudah semakin samar-samar itu, yang ternyata menuju ke jalur yang tadi kami lalui.
"Tiga kuda tambahan itu sebelumnya ditunggangi Tiga Panah Maut," kata Panah Wangi.
"Waktu mereka masih bekerja sama..."
"Ya, sebelum mereka bertengkar di kedai dan kita melihatnya."
"Mungkin ada yang belum kita dengar dari pertengkaran itu."
"Tentang kuda itu? Mungkin saja. Orang Uighur selalu menghargai tinggi kuda mereka, mereka tadi bertengkar tentang bayaran yang kurang."
Sebuah lubang pada mata rantai tetap belum terisi.
"Dari mana dan bagaimana cara datangnya para pengambil alih maharaja itu," kataku, "Tempat ini jauh dari mana pun."
Senyum mengembang pada wajah Panah Wangi yang cantik.
"Kita periksa saja jejak-jejaknya," katanya.
Kami bisa membaca dari jejak-jejak itu, bagaimana Tiga Panah Maut turun dari kuda masing-masing, lantas berjalan kaki.
"Tiga Panah Maut ternyata tidak tahu-menahu soal penculikan maharaja," kata Panah Wangi.
"Memang tidak, tapi siapa yang membawa maharaja sekarang? Jejaknya saja tidak ada!"
Kami berhenti di tempat itu. Matahari terang benderang sehingga tidak ada alasan bahwa jejak kami tidak akan kelihatan. Jika pasir mudah berubah karena angin, dan tanah berbatu-batu tidak memperlihatkan jejak, maka tempat persinggahan di tengah padang rumput memperlihatkan segala jejak dengan jelas.
Mungkinkah mereka melangkah tanpa menyentuh tanah? Jika mereka bisa datang melayang, mengapa harus perginya naik kuda? Dalam dunia persilatan banyak orang yang mampu berjalan-jalan di udara. Sayang sekali belum kuketahui cara melacak jejak di udara itu.
Sang Buddha dalam Sutra Berlian berkata:
mereka yang melihatku
melalui bentukku,
mereka yang mengikutiku
dari suaraku,
salah usaha mereka
yang terlibat di dalamnya,
mereka tak kan melihatku 1
melalui bentukku,
mereka yang mengikutiku
dari suaraku,
salah usaha mereka
yang terlibat di dalamnya,
mereka tak kan melihatku 1
"Berarti kita hanya bisa mengikuti jejak kudanya," kata Panah Wangi, ''kukira bersama merekalah sang maharaja."
Aku tidak segera menjawab. Apakah yang dipikirkan oleh seorang penculik maharaja? Kepalaku penuh dengan kait-kelindan berbagai jaringan yang semuanya terlibat. Jaringan orang-orang kebiri, jaringan putri istana, jaringan bangsawan, jaringan panglima wilayah, jaringan pemberontak, jaringan mata-mata, jaringan perkumpulan rahasia, jaringan penderita kusta, jaringan bhiksu, jaringan pengemis, yang segenap lika-liku dan kelak-kelok keruwetannya harus kulalui untuk melacak jejak Harimau Perang...
"Mari kita pergi," kataku. (bersambung)
1. Edward Conze, Buddhist Scriptures [1973 (1959)], h, 166.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak