#228 Korban Permainan Kekuasaan

February 15, 2015   

TANPA menunggu jawaban, sejumlah orang di barisan terdepan menyalakan obor dan melemparkannya ke atap, sementara 20 anak panah serentak meluncur ke arahku dalam kegelapan. Aku tidak sempat merunduk maupun menyingkir, tetapi sempat mencabut pedang jian milik Pengawal Anggrek Merah dan menyampok semuanya ke tanah. Atap kedai langsung menyala. Setiap orang yang keluar dari dalam kedai segera diserang anak panah dan tombak, tetapi para pengantar surat bukanlah anak kemarin sore, bukannya sekadar menyampok segala senjata, melainkan dengan kecepatan kilat bahkan membalasnya.

Atap sudah menyala dan 50 orang di pihak pasukan berkuda bergelimpangan dengan pisau terbang di jantung, leher, atau dahinya. Bapak Kedai muncul paling akhir dan nyaris menjadi korban anak panah, jika Panah Wangi tidak muncul di belakangnya, menangkap anak panah itu, mematahkannya menjadi dua, dan mengembalikannya dengan kecepatan senjata rahasia. Keduanya akan menancap pada kedua mata pemiliknya.

Serangan ini menimbulkan amarah luar biasa di kalangan para pengantar surat, karena sikap kurang periksa pasukan berkuda yang sungguh nyaris menimbulkan korban. Dengan kecepatan kilat aku berkelebat mengelilingi kepungan, menotok semua kuda terdepan. Setelah itu berganti Panah Wangi mengambil panah dari kudanya, dan segera pula bergelimpangan 50 orang malang yang sudah berkuda begitu jauh hanya untuk menemui kegagalan.

"Orang-orang bodoh! Pasukan dari mana kalian?! Membakar dan membunuh seenaknya!"

"Kami dikirim dari Chang'an! Serahkan maharaja atau kami bakar semua rumah di sini!"

Aku belum pernah melihat kekacauan seperti ini. Mulai dari jumlahnya yang terlalu besar untuk mengejar satu orang terculik, keterangan keliru yang nyaris menimbulkan korban, cara-cara seperti membakar dan membunuh tanpa periksa, yang meski gagal menjatuhkan korban, berakibat dengan bergelimpangannya korban tewas di pihak mereka sendiri.

Kedai itu menyala terang, apinya berkobar-kobar, lantas menyusut tinggal bara api. Kukira ini adalah kekacauan yang sengaja diciptakan. Ada pihak yang tahu maharaja sudah pergi dari sini, tahu pula kami berada di sini, tetapi belum jelas pula apa yang diinginkannya dengan keadaan ini.

Gong-sun Long berkata:

kuda putih bukanlah kuda;

apa pendapatmu tentang hal itu? 1


"Jangan bunuh! Jangan bunuh!"

Aku mencoba mengurangi pertumpahan darah.

"Jangan bunuh! Mereka hanya korban penipuan!"

Bagi Panah Wangi, sembari melenting-lenting dalam kegelapan di atas kepala-kepala para prajurit pasukan berkuda itu, mudah saja mengganti sabetan pedang dengan totokan. Bahkan sambil melenting-lenting di udara Panah Wangi lebih leluasa mengirim totokan-totokan jarak jauh yang segera menjatuhkan berpuluh-puluh orang.

Maklumlah pasukan tempur ini begitu melihat kawan-kawannya bergelimpangan langsung merangsek dengan ganas, yang disambut dengan dingin dan penuh perhitungan oleh para peng­antar surat itu. Korban sudah telanjur banyak bergelimpangan. Jeritan membubung. Darah tumpah seperti bocor dari guci. Betapapun, para pengantar surat ini tidak dapat menarik kembali jurus-jurus sabetan pedang, apalagi pisau terbang yang sudah mereka lemparkan.

Maka aku pun melakukan totok jarak jauh sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, justru untuk menyelamatkan pasukan tempur yang telah diperdaya ini. Mengepung kedai kecil dengan pasukan sebesar ini jelas tidak pernah dianjurkan Sun Tzu, Wu Qi, maupun Sima Rangju 2. Apalagi dipertahankan oleh prajurit-prajurit dengan daya tarung seperti para pengantar surat ini.

Aku melakukan penotokan jarak jauh dengan begitu cepat, amat sangat cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kudanya, karena kuda tempur pun sama berbahaya dengan penunggangnya. Mereka juga telah dilatih menggigit, menyepak dengan kaki depan maupun kaki belakang, dengan satu kaki atau dua kaki, dengan tujuan tertentu.

Di antara teriakan manusia dan ringkik kuda yang hiruk-pikuk aku bersuit-suit memberi tanda kepada Panah Wangi, bahwa aku menotok mulai dari barisan depan dan agar dia melakukannya dari belakang. Demikianlah manusia dan kuda ambruk seperti karung-karung yang mendadak kehilangan isi. Dari 50, ke 100, 200, 300, bahkan 500!

Dikurung tubuh manusia dan kuda, baik yang sekadar tertotok tanpa daya maupun yang telanjur meninggalkan dunia karena bentrokan pada awal serangan, pasukan yang tersisa tampak canggung di atas kuda masing-masing, karena tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kita sama-sama mengabdi Wangsa Tang," ujar salah seorang pengantar surat dengan sedih, "mengapa kita saling berbunuhan?" (bersambung)

  1. Gong-sun Long (284-254 SM) adalah tokoh aliran filsafat Sekolah Nama-Nama. Dikutip dari Peter H. Nancarrow, Chinese Philosophy (2009), h. 82. Tentang "perdebatan kuda putih" tengok Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy (1948), h. 87-91.
  2. Sun Tzu (544-496 SM), Wu Qi (440-381 SM), dan Sima Rangju [hidup semasa dengan Kong Fuzi (551-479 SM)], para pemikir strategi militer klasik Tiongkok.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 12:38 PM
#228 Korban Permainan Kekuasaan 4.5 5 Unknown February 15, 2015 kuda putih bukanlah kuda; apa pendapatmu tentang hal itu? - A Short History of Chinese Philosophy (1948) TANPA menunggu jawaban, sejumlah orang di barisan terdepan menyalakan obor dan melemparkannya ke atap, sementara 20 anak panah serentak melu...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak