Ya, sudah sebulan lamanya aku berada di sini, menulis terus-menerus tanpa henti, karena tiada lagi gangguan para tikshna atau vetanaghataka, yakni pembunuh bayaran, yang dalam masa paceklik akan beralih menjadi pemburu hadiah. Begitulah para pemburu hadiah ini akan menerima sekadar upah maupun ganti rugi, atau berhak atas hadiah seperti yang dijanjikan pengumuman, jika berhasil menangkap atau membunuh seorang buronan.
Namun aku bisa melupakan semua itu di sini. Tiada lagi jarum-jarum beracun yang melesat dan berdesis mengancam nyawa, tiada desingan pisau terbang yang siap menancap tepat pada jantung, tiada lagi bayangan mengendap-endap berkelebat menyelinap, masuk ke dalam kita. Seolah-olah dunia persilatan tidak ada di sini. Kukira juga sudah tidak ada orang menyebut-nyebut Sepasang Naga dari Celah Kledung. Usiaku sudah 101 tahun, jika kutinggalkan Celah Kledung pada usia 15 tahun, berarti sudah 86 tahun aku meninggalkannya. Dalam waktu selama itu sudah tentu banyak yang berubah.
Celah Kledung adalah wilayah antara Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro yang dahulu hanyalah berupa hutan dan di dalam hutan itu terdapat jalan, nyaris hanya setapak, tempat mereka yang cukup bernyali akan melewatinya sebagai jalan pintas. Keberuntungan yang dimungkinkan oleh jalan pintas itu terhadap dunia perdagangan, membuat para pedagang tidak membuang kesempatan untuk meraup keuntungan tersebut. Barang dagangan yang diangkut melalui Celah Kledung, dari mana pun, ke mana pun, lebih cepat sampai daripada melalui jalan lain yang mana pun, sehingga juga menjadi lebih murah biayanya, padahal bisa tetap dijual dengan harga yang sama!
Semula memang hanya yang memiliki semangat tinggi dan cadangan keberanian berlebih yang akan melewatinya, karena keberadaannya sebagai jalan setapak di tengah hutan telah memancing para begal, perampok, untuk mencari mangsanya pada berbagai titik sepanjang jalan setapak itu. Dahulu kala, ketika untuk pertama kalinya kaum kalana itu merajalela, adalah Sepasang Naga dari Celah Kledung yang membasminya. Kini, setelah berpuluh-puluh tahun, orang-orang dari dunia hitam itu muncul kembali dan berkuasa bagaikan raja-raja kecil, meskipun khalayak tidak pula menjadi ciut nyalinya.
Bukan saja Celah Kledung itu terus-menerus dan semakin sering dilewati rombongan pedagang yang dilengkapi pengawal bersenjata, tetapi khalayak bahkan telah membangun pemukiman, membuka ladang, dan setelah berpuluh-puluh tahun kini persawahan membentang pada kedua sisi jalan, yang sudah bukan jalan setapak lagi, di kaki Gunung Sumbing maupun Gunung Sindoro.
Dalam jarak 86 tahun aku merasakan Celah Kledung sungguh telah berubah. Betapapun terdapat juga yang sama sekali belum berubah. Di bagian hutan yang masih pekat, dan sengaja dibiarkan tidak menjadi persawahan, agar binatang-binatang tetap memiliki dunianya sendiri, masih terdapat lahan yang dulu menjadi rumah Sepasang Naga dari Celah Kledung, orang tua asuhku, tempatku dibesarkan dengan segenap warisan ilmu yang menjadi bagian diriku sampai hari ini.
Memang pondok itu sudah tidak ada lagi, tetapi tanahnya masih ada dan tidak pernah digunakan siapa pun, serta tidak pernah terlanggar oleh apa pun, bagaikan dengan tidak sengaja telah terkeramatkan.
Pada 86 tahun yang lalu, pemukim lain di tempat itu mengenal siapa Sepasang Naga dari Celah Kledung sebagai orang yang telah menyelamatkan desa mereka dari penindasan kaum penyamun, karena memang jauh dari jangkauan rajya pariraksa atau para pengawal kotaraja. Setelah kedua orang tuaku berangkat meninggalkan diriku, dan aku sendiri pergi mengembara, semakin lama semakin sedikit yang mengenal kami secara pribadi, tetapi riwayatnya tetap bertahan. Berpuluh-puluh tahun setelah pondok kami aus, doyong, dan akhirnya rubuh, tanahnya tetap terkosongkan, meskipun lumut dan tumbuh-tumbuhan merambah...
Sankaracharya berkata:
Sang Diri
adalah nyata
selain itu
semuanya angan-angan 1
(bersambung)
1. Shri Adhi Sankaracharya (788-820) adalah filsuf penafsir naskah-naskah Hindu, khususnya menyusun Advaita Vedanta. Diterjemahkan oleh Charles Johnston (1894), tengok Raymond van Over, Eastern Mysticism: Volume One (1977), h. 163.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak