#300 Persembunyian Terakhir?

April 28, 2015   

DEMIKIANLAH di Celah Kledung aku masih terus menulis. Ketika aku baru tiba dan menumpang tidur di balai desa, di antara penduduk, terdapatlah seorang tua yang lebih tua usianya daripada diriku, yakni 103 tahun, yang mengenaliku.

"Itu pengembara tua yang menginap di balai desa, aku mengenalinya, itulah anak suami-istri perkasa yang disebut Sepasang Naga," katanya. "Kukira waktu itu dia tidak punya nama. Bantulah jika dia ingin kembali ke bekas tempat tinggalnya."

Hmm. Apakah ini tidak lantas berarti aku seperti tidak bersembunyi? Seseorang berkata kepadaku.

"Orang tua yang tidak punya nama, ketahuilah bahwa kami tidak begitu paham apa yang sebetulnya terjadi pada masa lalu, tetapi kami menghormati orang tua itu, dan pada dasarnya kami menghormati orang-orang tua, yang telah lebih dulu memberikan tenaganya kepada desa ini daripada kami. Jadi marilah kami bantu dirimu untuk membangun kembali rumahmu."

Begitulah aku tidak bisa menghindari perhatian kepada diriku, terutama karena diriku sendiri memang sekarang ingin tinggal di sini. Para pemukim ini ternyata sangat terampil. Sebagian dari mereka bahkan pernah diminta ikut membangun rumah-rumah para pejabat tinggi di Mantyasih. Bagiku mereka bangunkan sebuah rumah berlantai batu, memperluas dasar bangunan yang sudah ada sejak masa orang tua asuhku dulu itu.

Dahulu kala, sesuai dengan sifat dunia persilatan, tempat ini dipilih karena mempertimbangkan masalah keamanan, sehingga meskipun penghuninya terkenal tetapi tempatnya sendiri sulit dicari. Tempatnya bukan sekadar berjarak dari pemukiman, melainkan juga sangat tersembunyi. Seperti telah diketahui, baru setelah melewati celah sempit sekali antara dua dinding batu, maka seseorang akan dapat mencapai tempat itu.

Hanya penduduk desa tetangga kami yang mengerti jalan masuknya dari jalan setapak di belakang untuk meminta obat maupun nasehat jika tertimpa masalah yang pelik. Seperti terdapat kesepakatan bahwa Sepasang Naga tidak ingin tempat tinggalnya diketahui banyak orang secara terbuka, dan penduduk desa menghormatinya, yang berpuluh tahun kemudian tampak sebagai bentuk pengeramatan.

"Bagi kami Sepasang Naga adalah dongeng tentang bagaimana desa kami diselamatkan dari penindasan para penyamun," kata seseorang yang lain. "Kami tidak mengira bahwa suatu ketika akan berjumpa dengan anaknya yang disebut-sebut tidak bernama. Keadaan sesungguhnya pada masa itu sungguh tidak kami ketahui,"

Dhammapada berkata:

biarkan orang bijak menjaga pemikirannya,

meskipun sulit dipahami, sangat berseni,

dan mereka bergegas ke mana pun mereka terdaftar;

pemikiran terjaga baik membawa kebahagiaan 1

Jika para guptagati atau mata-mata istana, ataupun perkumpulan rahasia mendekati permukiman yang tidak dihuni oleh terkalu banyak orang ini, kuharap saja latar belakangku tidak sedang diceritakan di sebuah kedai. Seorang penyelidik akan dengan sangat mudah menghubungkan keberadaan diriku dengan Pendekar Tanpa Nama yang dicari-cari itu.

Riwayat hidupku masih jauh lebih panjang daripada yang telah kutulis. Aku masih hidup sekarang ini pada umur 101 tahun, sedangkan riwayat yang kutulis baru mencapai umur 26. Hhhhh. Masih cukupkah umurku untuk menuliskan sisa yang 75 tahun lagi? Ataukah sebaiknya kulompati saja yang kuanggap kurang penting, dan hanya menulis yang berhubungan langsung dengan persoalanku sekarang? Namun itulah persoalannya bukan? Aku tidak pernah bisa mengetahui, bagian manakah dari riwayat hidupku yang membuatku kini menjadi buronan, harus ditangkap hidup atau mati, dengan hadiah yang terlalu besar itu?

Sepuluh ribu keping emas! Itu seperti perbendaharaan kerajaan besar seperti Negeri Atap Langit dalam pemerintahan Wangsa Tang, bukan Kerajaan Mataram. Sudikah Wangsa Sanjaya ini mempertaruhkan segenap perbendaharaannya hanya demi seorang tua seperti aku? Namun setiap orang yang memburuku pun tahu, keping-keping emas itu bisa diganti dengan tanah, sawah, dan bangunan rumah, atau apa pun yang setara. Kiranya itulah yang telah membuat diriku menjadi mangsa perburuan tiada akhir.

Kali ini aku tidak ingin menghindar lagi, meskipun aku juga tidak akan mungkin menyerah, setidaknya sebelum penulisan riwayat hidupku ini selesai. Tidaklah mungkin dan tidaklah terlalu aman membawa buntalan keropak itu ke mana-mana, bahkan di tempat ini pun aku belum mengetahui cara penyimpanan yang terbaik. Betapa rawan nasib suatu keterbukaan bukan? Betapapun, jika aku perlaya dalam perlawananku terhadap perburuan ini, kuinginkan agar apa pun yang sempat kutulis tetap terselamatkan, sebagaimana suatu riwayat hidup yang ditulis untuk dihidupkan.

Namun di balik kerimbunan hutan itu, suatu bayangan berkelebat. (bersambung)

1 Dari "The Way of Virtue" Vol. 10 dalam Sacred Books of the East, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh F. Max Muller, dimuat kembali dalam Raymond van Over (peny.), Eastern Mysticism. Volume One: The Near East and India (1977), h. 270.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:50 PM
#300 Persembunyian Terakhir? 4.5 5 Unknown April 28, 2015 biarkan orang bijak menjaga pemikirannya, meskipun sulit dipahami, sangat berseni, dan mereka bergegas ke mana pun mereka terdaftar; pemikiran terjaga baik membawa kebahagiaan - Eastern Mysticism. Volume One: The Near East and India (1977) DEMIKIANLAH di Celah Kledung aku masih terus menulis. Ketika aku baru tiba dan menumpang tidur di balai desa, di antara penduduk, terdapatla...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak