Hukuman yang sama diberikan kepada seseorang yang menangkap budak pelarian dan tidak mengembalikannya kepada penguasa dalam waktu lima hari. Jika budak milik pemerintah melarikan diri maka hukumannya adalah gebukan tongkat tebal 60 kali. Itu baru hukuman untuk hari pertama pelariannya. Semakin lama pelariannya semakin banyak pula hukumannya.
Budak laki-laki tidak dapat mengawini anak perempuan orang bebas. Jika majikan mereka mengizinkannya, mereka terancam hukuman kerja paksa selama dua setengah tahun, dan pernikahannya dibatalkan. Jika membunuh majikan, hukumannya adalah penggal kepala atau hukum cekik kalau penyebab kematiannya adalah kecelakaan. Sebaliknya, jika majikan yang membunuh budak tanpa alasan kuat, ia akan menerima hukuman kerja paksa satu tahun lamanya. Betapapun jika budak itu melakukan tindak kejahatan, dan majikan itu tidak memohon kesahihan yang berwenang, ia dapat dihukum gebuk dengan tongkat tebal 100 kali.
"Kita belum tahu apa hukuman kita, tetapi kita tidak akan tertangkap," kataku dengan meyakinkan meski yang kupikirkan hanyalah Harimau Perang.
"Kupikirkan tempat untuk menampung gadis yang selalu melukis itu dan apa yang akan kita lakukan dengannya," ujar Panah Wangi.
Namun aku tahu betapa tidak mudah menculik gadis yang selalu melukis itu. Menyadari penjara dan tempat tahanan sementaranya mudah dibobol, Negeri Atap Langit telah lama memiliki cara membebani para pesakitan dengan aneka macam borgol. Jika memang para tahanan itu suatu ketika lolos, tetap saja tidak dapat berbuat bebas. Borgol itu ada yang mulai dari borgol kaki, tangan, sampai kereta kotak yang memendam seluruh tubuh, dan hanya memperlihatkan kepala. Jelas siapa pun sulit melepaskan diri dengan cara seperti itu. Sementara itu, mengetahui di mana gadis itu disekap, tidak lebih dibanding mencari jarum di antara tumpukan jerami.
Kong Fuzi berkata:
sekarang aku tahu mengapa kehidupan akhlak tidak berjalan
yang pandai terkelirukan kepada sesuatu yang lebih tinggi;
yang pandir tidak tahu apa itu kehidupan akhlak
sekarang aku tahu mengapa kehidupan akhlak tidak dimengerti
adat mulia ingin hidup terlalu tinggi di atas tata akhlak sendiri;
adat tercela tidak hidup cukup tinggi,
tidak mencapai tata akhlak sendiri. 1
"Aku punya akal," ujar Panah Wangi.
Begitulah akal Panah Wangi itu langsung kami jalankan. Mula-mula kami mencari rumah yang disediakan pemerintah bagi Harimau Perang dalam kedudukannya sebagai kepala mata-mata Negeri Atap Langit.
Dari rumah yang masih belum diisi orang itu, selalu muncul seorang perempuan tua yang membawakan makanan. Dalam penyelidikan kami, orang-orang di sekitar rumah itu mengatakan bahwa makanan tersebut diperuntukkan bagi gadis yang selalu melukis, yang akhirnya kami ketahui bernama Anggrek Putih.
Ternyata hantaran makanan itu tidak langsung disampaikannya kepada Anggrek Putih, melainkan kepada seorang anggota Pengawal Burung Emas yang berada di sebuah gardu yang berjarak sepuluh petak. Dari gardu itu seorang petugas pengantar barang, surat, dan juga uang, akan mengambil dan mengantarkannya ke alamat yang disebutkan anggota Pengawal Burung Emas tersebut. Jadi mengantar makanan diperbolehkan tetapi tempat penahanan dirahasiakan. Dapat diandaikan pihak pengantar barang tidak tahu-menahu perihal Anggrek Putih sebagai tahanan. Petugasnya pun berganti-ganti, hampir selalu anak remaja, antara 12 sampai 15 tahun, tetapi yang kadang-kadang juga berganti orang dewasa.
Kami selidiki dari mana para pengantar itu berasal, dan ternyata hanyalah dari sebuah lorong kumuh tempat banyak anak bermain-main, dengan sejumlah orang dewasa yang duduk-duduk mengawasinya. Apabila saat pengambilan dan pengiriman makanan itu tiba, salah satu anak yang terbesar akan ditunjuk menjadi petugas pengantar hari itu.
Namun Hakim Hou bukan orang bodoh. Mengetahui pencapaian Harimau Perang sebagai mata-mata tangguh, dengan penguasaan atas segala seluk-beluk kerahasiaan, maka tempat penahanan Anggrek Putih hampir selalu berpindah-pindah.
"Makin sulit saja pekerjaan kita," Panah Wangi menggerutu. (bersambung)
1. Lin Yutang, The Wisdom of Confucius (1938), h. 105-6.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak